Oleh. Abdul Rozak Ali
Maftuhin
Seneng liat anak-anak
main petak umpet dan kejar-kejaran di depan kos setiap malamnya. Setelah sekian
lama aku tak melihat keceriaan, tantangan, dan bahkan tangis, yang melebur
dalam permainan itu. Tantangan itu, berupa ketrampilan bersembunyi yang tak mudah
ditemukan oleh si giliran jaga. Melawan merinding akibat gelapnya malam dan
mitos hantu, bukannya kalajengking atau ular.
Tangis kadang hadir
saat kita kena giliran jaga, tapi susah menemukan kawan yang sembunyi. Aku
pernah mengalami itu semasa masih duduk di Sekolah Dasar dulu. Pernah saat
giliranku jaga, kawan-kawanku bukan main sulitnya untuk dicari. Ya sudah,
kuputuskan untuk nangis dan pulang ke rumah. Besoknya, mereka tak lagi mau
bermain petak umpet denganku.
Namun hanya pada malam
itu saja mereka berkata demikian. Besoknya, sebungkus es yang kuminum bersama
dengan kawan-kawanku itu meluluhkan ucapan sebelumnya. Akhirnya, kami kembali
main bersama, dan itulah yang kusebut dengan keceriaan. Biasanya kalau sudah
seperti ini, aku tak lagi berani untuk kabur meninggalkan mereka ketika aku
kena giliran jaga. Takut mereka suatu ketika benar-benar tak mau lagi main.
Jadi ketika mereka sulit dicari, mending pasrah mencari dengan santai, sambil
berharap orang tua segera memanggilku untuk pulang.
Walau sama-sama petak
umpet, pada masaku dulu dengan yang kulihat di depan kosku berbeda jauh. Waktu
aku bermain petak umpet dulu, semua kawan-kawanku laki-laki, berbeda dengan
yang kujumpai saat ini, ada beberapa perempuan yang ikut main. Selain itu, area
petak umpet kami dulu hingga satu desa luasnya, bahkan pernah suatu ketika
sampai desa tetangga. Lagi-lagi berbeda dengan yang kulihat saat ini, yang
hanya satu kompleks atau satu ‘r-t’ saja. Kukira ini hanya faktor zaman dan
tempat saja. Aku jadul (jaman dulu), mereka jabar (jaman baru). Aku di desa,
dan mereka di kota. Sehingga pola permainan kami sangat berbeda. Hehehe
Gadget, Smartphone, dan
teknologi lainnya melenakan kami dalam zona nyaman yang membahayakan. Segalanya
serba instan. Permainan tradisional yang mengasah keberanian dan jiwa sosial
kami hilang, berganti dengan game di tangan yang merusak mata dan pantat kami.
Harus kuakui, akupun sulit untuk berpaling dari pesatnya teknologi kekinian.
Ingin kuajak
teman-temanku main petak umpet lagi, namun apakah mungkin dengan usiaku saat
ini? Kini hanya alamlah yang mampu menenangkanku dari bisingnya kenalpot dan
radiasi alat komunikasi, saat kaki ini mendaki gunung tinggi sebelah sana.
Zaman memang sudah berubah, dan memang harusnya berubah.
**********
“Kawanku, nasehati aku
dikala berbuat salah dan setiap waktu.”
(Rozak Al-Maftuhin)
0 komentar:
Posting Komentar