Oleh. Rozz Imperata
Sejak kecil Ilalang itu sendirian. Tak punya kawan, tak ada yang
melihat, apalagi merawat. Tak heran, Ilalang itu selalu berulah, ingin diakui keberadaannya.
Tak seperti yang diharapkannya, Ilalang semakin dikucilkan, ia pun semakin
terpuruk dalam kesendirian. Satu dua orang yang datang menyapanya, sekedar
memanfaatkannya, kemudian hilang entah kemana.
Ilalang itu merintih, namun orang lain tiada pernah peduli. Sejak
ibunya tiada, dekapan kasih sayang tak lagi dirasakannya. Dengan tatapan nanar,
Ilalang iri melihat teman-temannya yang masih bisa mengadu dan berbagi cerita
kepada kedua orang tuanya. Tak ada lagi yang menjadi pendengar setia untuk
mendengarkan aduan si Ilalang kecil. Semua menjauh meninggalkan ia seorang
diri.
Orang-orang memanggilnya dengan sebutan ‘Benalu’. Mereka menganggap
Ilalang itu hanyalah parasit yang tak berguna. Bahkan seorang guru yang
harusnya mendidik, pernah melayangkan tamparan keras dengan sepatu pantofel
tepat di wajah si Ilalang. Si Ilalang terdiam, ia sadar akan kesalahannya. Ilalang
mencoba beranjak dari keterpurukannya, berharap semua orang akan menerimanya
sebagai teman.
Delapan tahun berlalu. Dalam masa-masa itu, Ilalang bertemu dengan
orang-orang yang menginspirasinya untuk bangkit. Seorang dokter yang bijak, mengajarkan
Ilalang akan pentingnya berbagi. Diklat pelajar yang pernah diikutinya, membuat
ia bertemu dengan motivator yang punya segudang cara menggapai kesuksesan. Hingga
duduknya Ilalang bersama mualaf ‘mantan pendeta Hindu’, yang mendorongnya untuk
hijrah menuju kehidupan yang lebih baik.
Kini Ilalang itu tak lagi sendiri. Orang-orang memanggilnya dengan
panggilan yang ia harapkan, yakni ‘teman’. Canda tawanya bersama teman-teman
membuatnya riang. Melepas derita yang pernah dialaminya pada masa lalu yang
kelam.
Kini Ilalang itu tak lagi sendiri. Ia juga memiliki kekasih hati. Mereka
berdua saling mencintai dan saling berbagi, kebahagiaan maupun tangis. Ilalang
pun sekarang tahu, bagaimana caranya tersenyum indah, yang dulu tak pernah ia
punya.
Kini Ilalang itu tak lagi bersedih. Hidupnya yang keras, telah
membentuk sikapnya. Berbagai masalah yang datang menerpa, mengajarkan ia bahwa
hidup adalah berjuang dan memperjuangkan. “Mungkin masalah akan menjatuhkan
kita, namun kita bisa memilih untuk bangkit atau diam”, ucap Ilalang.
0 komentar:
Posting Komentar