Selasa, 06 Januari 2015

Makalah Proses Pendidikan Islami

PROSES PENDIDIKAN ISLAMI

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Ilmu Pendidikan Islami

Dosen Pengampu: Drs. Khozin, M.Si

 
Oleh:

Abdul Rozak Ali Maftuhin
201310010311078

Universitas Muhammadiyah Malang
Fakultas Agama Islam
Jurusan Tarbiyah
2015


KATA PENGANTAR



            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Proses Pendidikan Islami ini tanpa kendala yang berarti, meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Khozin, M.Si selaku dosen mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan. Semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca secara umum, dan kami sendiri secara khusus.







Malang, Mei 2015




BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Dewasa ini, pendidikan Islam berada dalam era globalisasi yang ditandai oleh kuatnya tekanan ekonomi dalam kehidupan, teknologi yang semakin canggih, serta kuatnya nilai budaya yang hedonistik, pragmatis, dan sekularistik.[1] Masalah seputar dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam memang tak henti-hentinya menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan baik kalangan umum maupun akademisi.

Menghadapi keadaan yang demikian itu dunia pendidikan pada umumnya, dan pendidikan Islam pada khususnya kini berada di persimpangan jalan, yakni antara jalan untuk mengikuti tarikan eksternal sebagai pengaruh era globalisasi, atau tarikan internal yang merupakan misi utama pendidikan, yaitu membentuk manusia seutuhnya. Dalam problematika tarik ulur seputar pendidikan, dibutuhkan upaya-upaya perbaikan untuk memperbaiki komponen pendidikan, guna membangun kembali sumber daya manusia yang unggul, dalam kasus ini setidaknya dibutuhkan proses pendidikan yang benar-benar optimal dan tepat sasaran.

Berbicara tentang proses pendidikan, terdapat literatur ilmu pendidikan khususnya ilmu pengajaran, maka akan banyak ditemukan banyak metode mengajar. Dalam litaratur pendidikan Barat dapat diketahui banyak metode mengajar seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, sosiodrama, dan bermain peran. Jika dikaitkan dengan pemikiran Ibn Khaldun, maka kita akan menjumpai metode “Pengkajian Mendalam”.[2] Lalu pemikiran Abdullah Nashih tentang metode “Adat Kebiasaan”, yang mana dalam pandangan ini dikaitkan dengan fitrah manusia.[3]
Sebenarnya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan berhasil tidaknya suatu pendidikan, mulai dari tempat, fasilitas, dana, dan lain-lain. Namun pemakalah memberikan anggapan bahwasanya yang paling urgen diantara hal-hal di atas adalah bagaimana proses atau metode pendidikan (pengajaran) itu berlangsung dengan baik. Melalui makalah kecil ini, pemakalah akan mencoba mengungkap seputar proses pendidikan, khususnya pendidikan Islam.

B.     Rumusan Masalah


1.      Apa yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam?

2.      Bagaimana perspektif Islam tentang pendidik?
3.      Bagaimana Perspektif Islam tentang peserta didik?
4.      Bagaimana perspektif Ibn Khaldun tentang proses pendidikan Islam?
5.      Bagaimana perspektif Abdullah Nashih tentang proses pendidikan Islam?
6.      Bagaimana melakukan pengajaran?
7.      Bagaimana pembinaan keberagamaan melalui pengajaran?
8.      Apa hasil perbandingan teori Ahmad Tafsir dengan Ibn Khaldun?
9.      Apa hasil perbandingan teori Ahmad Tafsir dengan Abullah Nashih?
10.  Bagaimana hasil perbandingan antar teori?





C.    Tujuan Penulisan


Dari rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa penulisan makalah ini dimaksudkan untuk:

1.      Menjelaskan apa yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam?
2.      Menjelaskan bagaimana perspektif Islam tentang pendidik?
3.      Menjelaskan bagaimana Perspektif Islam tentang peserta didik?
4.      Menjelaskan bagaimana perspektif Ibn Khaldun tentang proses pendidikan Islam?
5.      Menjelaskan bagaimana perspektif Abdullah Nashih tentang proses pendidikan Islam?
6.      Menjelaskan bagaimana melakukan pengajaran?
7.      Menjelaskan bagaimana pembinaan keberagamaan melalui pengajaran?
8.      Mengetahui apa hasil perbandingan teori Ahmad Tafsir dengan Ibn Khaldun?
9.      Mengetahui apa hasil perbandingan teori Ahmad Tafsir dengan Abullah Nashih?
10.  Mengetahui bagaimana perbandingan antar teori?





D.    Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode penelitian Kausal Komparatif. Kausal Komparatif merupakan metode penulisan yang dimaksudkan untuk melihat perbedaan dua atau lebih situasi, peristiwa, kegiatan, atau program yang sejenis atau hampir sama yang melibatkan unsur atau komponennya.


BAB II
KAJIAN TEORETIS



A.    Metode Pendidikan Islam


Metode berasal dari bahasa latin meta yang berarti melalui, dan hodos yang berarti jalan ke atau cara ke. Menurut istilah, metode adalah ialah suatu sistem atau cara yang mengatur cita-cita.

Pendidikan Islam adalah bimbingan secara sadar dari pendidik kepada anak didiknya yang masih dalam proses pertumbuhannya berdasarkan norma-norma yang Islami, agar terbentuk kepribadiannya menjadi kepribadian muslim.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan metode pendidikan Islam di sini adalah jalan atau cara yang dapat ditempuh untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan Islam kepada anak didik agar terwujud kepribadian muslim.[4] Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang berlangsung seumur hidup. Pendidikan selalu berkembang, dan selalu dihadapkan pada perubahan zaman. Untuk itu, mau tak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut.[5]





B.     Perspektif Islam Tentang Pendidik


Menurut Ahmad D. Marimba, pendidik adalah orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik. Orang dalam pengertian ini ialah orang dewasa, yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab atas pendidikan si terdidik. Pendidik juga berarti memberikan pertolongan pada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah.[6]

Islam sangat menghargai dan menghormati orang-orang yang berilmu pengetahuan dan bertugas sebagai pendidik. Pendidik memiliki beberapa fungsi mulia, diantaranya: Pemelihara fitrah manusia dan melakukan pengajaran. Maka dari itu, peran pendidik sangat penting dalam proses pendidikan, karena dia yang bertanggung jawab dan menentukan arah pendidikan tersebut. Begitu tingginya penghargaan Islam terhadap pendidik sehingga menempatkan kedudukannya setingkat di bawah kedudukan nabi.[7]
Penghormatan terhadap pendidikan demikian tinggi dapat dilihat dari jasanya yang demikian besar dalam mempersiapkan kehidupan bangsa di masa yang akan datang. Jasa pendidik yang terpenting meliputi: Pertama, pendidik sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada peserta didiknya, sedangkan ilmu adalah modal untuk mengangkat derajat manusia, dan dengan ilmu pula seseorang akan memiliki rasa percaya diri dan sikat mandiri. Kedua, pendidik sebagai pembina akhlak yang mulia dan merupakan tiang utama untuk menopang kelangsungan hidup suatu bangsa. Ketiga, Pendidik sebagai pemberi petunjuk kepada peserta didiknya tentang hidup yang baik, yaitu manusia yang sadar akan siapa dirinya di hadapan Sang Pencipta.[8] Dari pemaparan di atas, singkatnya sudah jelas bagaimana hakikat guru dan tugas yang harus diemban dalam mendidik peserta didiknya.





C.    Perspektif Islam Tentang Peserta Didik


Dalam masyarakat, ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut peserta didik, seperti siswa, murid, santri, pelajar, mahasiswa, dan sebagainya. Dalam terminologi Islam, peserta didik dikenal dengan istilah thalib. Kata thalib berasal dari akar kata thalaba-yathlubu yang berarti mencari atau menuntut. Dengan demikian, seorang peserta didik adalah ia yang merasa gelisah untuk mencari dan menemukan ilmu di manapun dan kapanpun.

Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa.[9]
Sedikit banyak pembahasan tentang pendidik dan peserta didik telah memberikan kita gambaran, bahwasanya antara pendidik dan peserta didik merupakan dua hal yang saling berhubungan dan tidak bisa dipisahkan. Tidak bisa disebut pendidik, jika tidak ada yang dididik. Sebaliknya peserta didik tidak akan ada jika tidak terdapat pendidik yang mengarahkannya. Hubungan pendidik dan peserta didik akan optimal apabila keduanya berjalan beriringan dan bersinergi dengan baik. Kedua elemen ini dapat dikatakan sebagai simbiosis mutualisme, ikatan yang saling membutuhkan dan bekerjasama.





D.    Perspektif Ibn Khaldun Tentang Proses Pendidikan Islam


Pada dasarnya, mengetahui teknik mengajar merupakan suatu keharusan bagi setiap pendidik untuk kemudian diterapkan dalam praktik kependidikan. Ibn Khaldun berpendapat bahwa tidak cukup seorang guru hanya membekali anak dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan dan menambah kemampuannya dalam belajar.[10] Akan tetapi guru juga wajib memperbaiki metode dalam penyajian dan penyampaian ilmu kepada anak didiknya; dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan lebih dahulu mempelajari hidup kejiwaan anak dan mengetahui tingkat-tingkat kematangan serta bakat-bakat ilmiahnya, sehingga ia mampu menerapkan sesuai dengan tingkat pikiran mereka.

Pemikiran Ibn Khaldun setidaknya terdapat pesan bahwa seorang guru dalam melakukan pengajaran haruslah diiringi dengan pemahaman terhadap peserta didiknya. Dengan demikian maka akan terjalin hubungan antara guru dan muridnya. Pemahaman seorang guru terhadap muridnya akan menimbulkan keserasian dalam proses pendidikan, sehingga murid di sini akan merasa bahwa dirinya dimanusiakan oleh gurunya, sebagaimana tujuan pendidikan.
Jika pondasi pemahaman seorang guru kepada muridnya telah terbentuk, selanjutnya memilih dan menerapkan metode mengajar akan lebih maksimal, karena guru dapat menyesuaikan metode yang tepat sesuai dengan kemampuan peserta didiknya. Dalam kaitannya dengan metode pengajaran, Ibn Khaldun mencela guru-guru yang terlalu berpegang pada metode verbalistik dan metode mendengar, karena metode ini peserta didik hanya diam mendengarkan, selain itu  beliau mengidentifikasi bahwa metode semacam ini tidak memberikan kesan ke dalam pikiran peserta didik. Sehingga proses pendidikan yang berlangsung lama terkesan sia-sia.[11]
Sehubungan dengan metode atau proses dalam melakukan pengajaran, Ibn Khaldun berpendapat ada beberapa metode efektif yang dapat diterapkan oleh guru dalam proses pengajaran:[12]
1.    Metode Pentahapan dan Pengulangan (Tadarruj Wat Tikraari)
Menurut Ibn Khaldun, mengajar anak atau remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan.
Kemudian guru  mengulangi lagi ilmu yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannya sampai pada taraf yang tertinggi. Pengulangan secara bertahap bertingkat ini, menurut beliau, sangat besar manfaatnya dalam upaya menjelaskan dan memantapkan ilmu ke dalam jiwa anak serta meningkatkan pemahamannya terhadap ilmu itu.


2.    Tidak Mencampuradukkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Waktu

Dalam pandangannya mengenai metode yang satu ini, Ibn Khaldun menganjurkan tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu kepada muridnya karena sebelum memperoleh salah satu ilmu, akan mengakibatkan terpecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yang lainnya untuk memahami problematikanya yang lain. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan pada peserta didik.
Walaupun pola pendidikan modern tidak membenarkan hal tersebut, bahkan sebaliknya pola modern menganjurkan agar memberikan pengetahuan yang bervariasi dalam pelbagai kurikulum. Namun Ibn Khaldun secara tegas menekankan bahwa pola pendidikan anak harus didasarkan pada proses belajar satu ilmu saja, dan jika satu macam ilmu telah dipahami dengan benar baru beralih ke ilmu yang lain.


3.    Metode Widya-wisata

Widya-wisata merupakan metode eksploratif anak dalam belajarberdasarkan observasi langsung dengan adanya kegiatan pengamatan melalui indrawi. Ibn Khaldun mendorong agar melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu karena dengan cara ini murid akan mudah mendapat sumber pengetahuan yang banyak dan pastinya menyenangkan.
Pendidikan modern sekarang memperkuat pandangan Ibn Khaldun tentang perlunya widyawisata sebagai sarana yang besar, artinya dalam upaya mendapatkan pengetahuan secara langsung di lapangan; dan pengaruhnya kuat sekali terhadap anak sehingga beliau mengatakan: “Sesungguhnya melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan, tokoh-tokoh ilmu, dan tokoh pendidikan akan menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab banyak orang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang dianut; kadangkala dengan cara menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah. Sedangkan keberhasilan mendapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelaran akan lebih mendalam dan lebih kuat kesannya daripada cara lain apalagi melalui banyak guru yang ilmunya bermacam-macam.”
Dari pendapat Ibn Khaldun mengenai beberapa metode pengajaran di atas, pemakalah beranggapan bahwa metode tersebut beliau maksudkan untuk menciptakan metode pengajaran yang mendalam terhadap suatu ilmu pengetahuan. Bedanya di sini adalah dalam proses pendalaman ilmu pengetahuan itu tidak terkesan dilakukan secara formal dan tegang, akan tetapi justru sebaliknya, proses yang menyenangkan akan mengantarkan peserta didik agar lebih mudah dalam memahami hal yang dipelajarinya.





E.     Perspektif Abdullah Nashih Tentang Proses Pendidikan Islam


Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang integral, yang mana memandang individu secara utuh, memperhatikan segala aspek kehidupannya serta mendidik jiwa, akal, dan fisik secara simultan. Setiap aspek tersebut saling mempengaruhi, dan kepribadian mansuia pada akhirnya merupakan hasil proses integrasi aspek-aspek tersebut.

Selain itu, pendidikan Islam merupakan pendidikan yang seimbang; berupaya merealiasasikan keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi. Proses pendidikan Islam berlangsung terus menerus, tidak berhenti pada suatu masa studi tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hayat manusia.
Berdasarkan uraian di atas, maka pendidikan Islam mempunyai tujuan yang sangat luas dan mendalam. Luasnya pendidikan pastinya tidak dibiarkan begitu saja tanpa adanya konsep yang matang di dalamnya, guna merealisasikan tujuan tersebut. Dalam kaitannya dengan itu, Abdullah Nashih (selanjutnya Nashih) beranggapan bahwa tujuan yang besar itu dapat diwujudkan, salah satunya dengan optimalnya metode pengajaran di dalamnya. Nashih menyatakan bahwa terdapat beberapa metode pengajaran dalam pendidikan Islam, yakni:[13]
1.      Pendidikan dengan Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral, spiritual, dan sosial.  Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak didik, yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya.
Teladan yang baik adalah menyelaraskan perkataan dan perbuatan dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Seorang ayah tidak cukup hanya memiliki wawasan keislaman yang bagus untuk mengarahkan anak-anaknya.
Ada paribahasa, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Menurut ilmu kejiwaan, memang paribahasa ini terbilang masuk akal. Karena anak atau murid cenderung mengikuti tingkah laku seorang guru.[14] Anak atau murid akan dapat dengan mudah meniru apapun yang dilihatnya dari seorang guru, bahkan bisa lebih buruk daripada gurunya tersebut.
Dalam mengajarkan sesuatu kepada peserta didik, pada intinya harus menyertakan tiga unsur, yakni hati, telinga, dan mata. Ketika pendidik mengenalkan sopan santun kepada peserta didiknya, sebaiknya mereka tidak hanya memberikan nasihat atau perintah, tetapi juga contoh nyata.


2.      Pendidikan dengan Adat Kebiasaan

Masalah-masalah yang sudah menjadi ketetapan dalam Islam bahwa sang anak diciptakan dengan fitrah tauhid yang murni, agama yang lurus, dan iman kepada Allah. Manusia diciptakan dengan fitrah tauhid yang mempunyai naluri beragama. Jika ada manusia tidak memiliki agama tauhid, hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanya lantaran pengaruh lingkungan.
Kebiasaan mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, karena ia  menghemat banyak sekali kekuatan manusia. Kebiasaan akan menjadi sangat bermanfaat, karena dengan kebiasaan, seseorang akan cenderung melakukan sesuatu dengan ringan. Namun hal ini juga dapat menjadi penghalang, karena tidak semua kebiasaan bersifat baik.
Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik pendidikan, lalu mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan, tanpa terlalu payah, dan tanpa menemukan banyak kesulitan.


3.      Pendidikan dengan Memberi Perhatian

Dimaksud dengan pendidikan dengan memberi perhatian adalah mencurahkan, memerhatikan dan senantiasa mengikuti perkembangan anak didik dalam pembinaan akidah, moral, dan perkembangan sosial spiritual, selain bertanya tentang situasi pendidikan jasmaninya.
Tidak diragukan bahwa pendidikan dianggap sebagai asas terkuat dalam pembentukan manusia secara utuh, yang menunaikan hak setiap orang dalam kehidupan, termasuk mendorongnya untuk menunaikan tanggung jawab dan kewajiban dengan sempurna. Melalui upaya tersebut akan tercipta muslim hakiki, sebagai batu untuk membangun pondasi Islam yang kokoh.
Metode ini akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan peserta didik, karena dengan metode ini anak didik merasa dilindungi, diberi kasih sayang, karena ada tempat untuk mengadu baik suka maupun duka.




BAB III
PROSES PENDIDIKAN ISLAMI PERSPEKTIF AHMAD TAFSIR



A.    Cara Melaksanakan Pengajaran


Dalam literatur ilmu pendidikan, khususnya ilmu pengajaran, dapat ditemukan banyak metode mengajar. Adapun metode mendidik selain dengan cara mengajar, tidak terlalu banyak dibahas oleh para ahli. Sebabnya, mungkin metode mengajar lebih jelas, lebih tegas, objektif, bahkan universal, sedangkan metode mendidik selain mengajar lebih subjektif, kurang jelas, kurang tegas, lebih bersifat seni daripada sain.

Sebenarnya untuk kepentingan pengembangan teori-teori pendidikan Islam, masalah metode mengajar tidaklah terlalu sulit. Metode-metode mengajar yang dikembangkan di Barat dapat saja digunakan atau diambil untuk memperkaya teori tentang metode pendidikan Islam.
Pendidikan Islami mencakup pengajaran umum dan pengajaran agama. Metode pengajaran (terutama dalam arti urutan langkah mengajar) untuk pengajaran umum tidak terlalu rumit permasalahannya. Tidak terlalu rumit karena teori-teorinya mungkin seratus persen dapat kita ambil dari Barat; teori-teori pengajaran Barat kita gunakan begitu saja. Namun, untuk pengajaran agama, bagian yang menyangkut pembinaan kognitif memang harus ada sedikit revisi ataupun revisi total teori Barat tatkala kita mengajarkan agama bagian doktrin.
Yang lebih rumit adalah pembinaan afektif. Dalam pendidikan Islami ada bidang studi agama Islam. Pengajaran agama Islam mencakup pembinaan keterampilan, kognitif, dan afektif. Bagian afektif inilah merupakan bagian yang rumit. Ini menyangkut pembinaan rasa iman, rasa beragama pada umumnya.
Menurut Al-Nahlawi dalam al-Quran dan hadits dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa, dan membangkitkan semangat. Metode-metode itu katanya mampu menggugah puluhan ribu muslim untuk membuka hati umat manusia menerima tuntunan Tuhan.







B.     Membina Keberagamaan melalui Pengajaran


Dalam membina keberagamaan, Ahmad Tafsir menukil pendapat dari Al-Nahlawi tentang metode-metode dalam melakukan pengajaran yang bertujuan untuk menanamkan rasa iman, yakni sebagai berikut:[15]

1.      Metode Hiwar
Metode ini menawarkan cara belajar dengan cara dialog atau percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang dikehendaki oleh guru. Hiwar mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga bagi pendengar itu. Itu disebabkan beberapa hal sebagai berikut.
Pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena kedua pihak terlibat langsung dalam pembicaraan; tidak membosankan. Kedua pihak sama-sama memperhatikan agar dapat mengikuti jalan pikiran masing-masing. Kebenaran atau kesalahan masing-masing dapat diketahui dan direspon saat itu juga dan selanjutnya pembicaraan akan berjalan terus.
Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena ia ingin tahu kesimpulannya. Ini biasanya diikuti dengan penuh perhatian, tampaknya tidak bosan dan penih semangat.
Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan kesan dalam jiwa, yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri kesimpulannya.
Keempat, bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat itu akan mempengaruhi peserta sehingga meninggalkan pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam bicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.


2.      Metode kisah qurani dan nabawi

Dalam pendidikan islami terutama pendidikan agama Islam, kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat penting, alasannya antara lain sebagai berikut.
Pertama, kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya makna-makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca dan pendengar tersebut.
Kedua, kisah juga dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu menampilkan tokoh dalam konteksnya yang menyeluruh. Karena tokoh cerita ditampilkan dalam konteks yang menyeluruh, pembaca atau pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah ia sendiri yang menjadi tokohnya.
Ketiga, kisah dapat mendidik perasaan keimanan dengan cara membandingkan berbagai perasaan seperti khauf, ridha, dan cinta. Kemudian dapat juga mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak yakni kesimpulan kisah; melibatkan pembaca dan pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat secara emosional.
Ditinjau dari dampak pedagogis, kisah nabawi tidak berbeda dari kisah qurani. Akan tetapi, bila ditinjau secara mendalam ternyata kisah nabawi berisi rincian yang lebih khusus seperti menjelaskan keikhlasan dalam beramal, menganjurkan bersedekah, dan mensyukuri nikmat Allah.


3.      Metode amtsal (perumpamaan)

Berkenaan dengan metode amtsal bukan hanya menyangkut persoalan logika ataupun gambaran semata, melainkan adakalanya Tuhan mengajari hamba-Nya dengan membuat perumpamaan. Misalnya, dalam QS Al-Baqarah:17, Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti orang yang menyalakan api. Jadi metode ini terdapat hubungan yang menyangkut keimanan, untuk itu dapat dijadikan sebagai metode pengajaran yang tepat dalam pendidikan islami.
Cara seperti ini dapat digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengungkapannya bisa jadi sama dengan metode kisah yaitu dengan berceramah atau membaca teks. Kebaikan metode ini antara lain adalah sebagai berikut.
Pertama, mempermudah siswa dalam memahami konsep abstrak; ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkret seperti kelemahan tuhan orang kafir diumpamakan sarang laba-laba yang sangat lemah.
Kedua, perumpamaan dapat merangsang kesan terhadap makna yang tersirat dari perumpamaan tersebut.
Ketiga, merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah logis dan mudah dipahami. Jangan sampai dengan menggunakan perumpamaan malah pengertiannya kabur.
Keempat, amtsal qurani dan nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan. Jelas hal ini amat penting dalam pendidikan islami.


Intinya, dalam metode pendidikan agama menurut Islam adalah adanya rasa hormat dari pihak murid kepada agama. Artinya, hormat kepada Tuhan. Ini akan diikuti dengan hormat kepada guru. Anak-anak sebenarnya menghadapi Tuhan dan rasul sementara ia berhadapan dengan guru agamanya.




BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN TEORI




A.    Pandangan Ahmad Tafsir Ditinjau dari Teori Ibn Khaldun


Berpijak pada paparan pembahasan sebelumnya mengenai pandangan Ahmad Tafsir dan Ibn Khaldun tentang proses atau metode pengajaran dalam pendidikan Islam, sebenarnya tidak ada yang salah. Namun yang menjadi titik tekan di sini adalah bagaimana teori tersebut dapat dijalankan dengan maksimal saat ini. Karena mengingat terdapat beberapa metode yang dirasa sangat bagus, namun ternyata tidak berjalan maksimal hanya karena terdapat kesalahan waktu penerapannya.

Metode-metode yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun sekilas terkesan lebih tertata rapi daripada metode yang ditawarkan oleh Ahmad Tafsir. Bagaimana tidak, dalam implementasinya Ibn Khaldun memulai proses pengajarannya dari ilmu yang mudah kemudian yang sulit. Hal ini dapat meminimalisir kerancuan dalam berfikir, apalagi diimbangi dengan pamahaman terhadap peserta didiknya, yang mana perlakuan semacam ini berguna untuk menentukan bagaimana suatu ilmu pengetahuan akan diajarkan kepada peserta didik.
Selain itu, metode pengajaran Ibn Khaldun ini masih bersifat umum, dan memungkinkan untuk digunakan dalam dimensi keislaman yang lain, seperti sosial dan ekonomi. Berbeda dengan Ahmad Tafsir yang lebih mengarah pada dimensi keislaman yang bersifat wahyu. Walaupun memang bertemakan pendidikan Islam, metode-metode semacam ini dapat membatasi ruang gerak pendidikan yang barusnya bersifat dinamis.





B.     Pandangan Ahmad Tafsir Ditinjau dari Teori Abdullah Nashih


Melihat pandangan Ahmad Tafsir tentang metode atau proses pengajaran dalam pendidikan Islam dari teori Nashih, singkatnya pandangan Ahmad Tafsir terkesan pendidik kurang memperhatikan peserta didiknya. Adapun perhatian yang dimaksud di sini adalah perhatian secara khusus yang dilakukan pendidik terhadap peserta didiknya, bukan perhatian dalam artian pengajaran. Karena sejatinya seorang pendidik melakukan pengajaran juga karena perhatian terhadap peserta didiknya.

Selanjutnya, jika ditinjau dari subjeknya dalam pembelajaran, metode yang ditawarkan Nashih lebih mengarah kepada keaktifan guru, dengan kata lain guru sebagai pembina. Berbeda dengan metode Ahmad Tafsir, yang mana pembelajarannya lebih menekankan pada keaktifan peserta didiknya, guru berperan sebagai mediator.





C.    Perbandingan Antar Teori


Setelah sedikit banyak membahas secara umum tinjauan beberapa tokoh tentang proses atau metode pengajaran dalam pendidikan Islam. Dalam pembahasan kali ini, pemakalah akan lebih menyempitkan lagi hasil perbandingan antar teori, namun tetap mempertahankan substansi yang ada.

Ibn Khaldun, dari metode yang ditawarkan dapat disimpulkan bahwa metode tersebut mengarah pada ranah kognitif. Terstrukturnya rangkaian kegiatan pengajaran dari metode Ibn Khaldun ini dimaksudkan agar peserta didik benar-benar paham akan ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari, tentunya dengan kajian yang sangat mendalam. Sangat mendalamnya kajian dalam metode ini, sampai-sampai tidak akan mempelajari ilmu pengetahuan yang baru, sebelum ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari benar-benar paham atau dikuasai.
Abdullah Nashih, dari metode yang ditawarkan maka terdapat kesimpulan bahwa metode tersebut mengarah pada ranah afektif. Memang baik ketika dalam suatu pembelajaran diarahkan kepada ranah afektif, apalagi jika kita mengacuh pada K-13 yang memang mendahulukan afektif. Namun meninjau kembali metode dari Nashih, seakan-akan afektif merupakan totalitas, dan mengabaikan ranah lainnya (psikomotorik dan kognitif). Selain itu suasana pembelajaran akan terbilang monoton, karena kebanyakan aktifitasnya cenderung tertuju pada guru.
Ahmad Tafsir, dari metode yang ditawarkan terdapat perbedaan ranah pada masing-masing metode. Saya rasa pendapat Ahmad Tafsir cukup menarik, yang mana ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat terpenuhi dalam metode ini. Selain itu, dari metode-metode tersebut, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan oleh pendidik maupun peserta didik, sehingga suasana pembelajaran akan terkesan menarik dan dinamis.


BAB V
PENUTUP



A.    Kesimpulan



Pendidik adalah orang yang memikul tanggung jawab untuk mendidik. Orang dalam pengertian ini ialah orang dewasa, yang karena hak dan kewajibannya bertanggung jawab atas pendidikan si terdidik. Dalam pengertian ini, pendidik memiliki jasa, meliputi: Pertama, pendidik sebagai pemberi pengetahuan yang benar kepada peserta didiknya, sedangkan ilmu adalah modal untuk mengangkat derajat manusia, dan dengan ilmu pula seseorang akan memiliki rasa percaya diri dan sikat mandiri. Kedua, pendidik sebagai pembina akhlak yang mulia dan merupakan tiang utama untuk menopang kelangsungan hidup suatu bangsa. Ketiga, Pendidik sebagai pemberi petunjuk kepada peserta didiknya tentang hidup yang baik, yaitu manusia yang sadar akan siapa dirinya di hadapan Sang Pencipta.

Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, maupun psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan melalui lembaga pendidikan. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa.
Ahmad Tafsir, dari metode yang ditawarkan terdapat perbedaan ranah pada masing-masing metode. Metode tersebut mencangkup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat terpenuhi dalam metode ini. Selain itu, dari metode-metode tersebut, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan oleh pendidik maupun peserta didik, sehingga suasana pembelajaran akan terkesan menarik dan dinamis. Namun tidak ada satu metode yang sempurna, dan lainnya tidak sempurna. Karena kesempurnaan suatu metode tergantung bagaimana kita menyinergikan serta mengoptimalkan beberapa metode.




DAFTAR PUSTAKA



Al-Jumbulati Ali. 2002. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.

Haitami Moh, Syamsul., 2012. Studi Pendidikan Islam. Ar-Ruzz Media
Hasyim Umar. 1983 Cara Mendidik Anak dalam Islam. Surabaya: Bina Ilmu
Nata Abuddin. 2012. Kapita Selekta Pendidikan Islam; Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press
Syafaat Aat, dkk., 2008. Peranan Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press
Tafsir Ahmad. 2012. Ilmu Pendidikan Islami. Bandung: Rosda



[1] Abbudin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam; Isu-isu Kontemporer Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 1
[2] Ali Al-Jumbulati & Abdul Futuh, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 197
[3] Aat Syafaat, dkk. Peranan Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 43
[4] Aat Syafaat, dkk. Peranan Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2008), hlm. 40
[5] Haitami Salim & Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 212
[6] Ibid., 142
[7] Ibid., 143
[8] Ibid., 144
[9] Ibid., 166
[10] Ali Al-Jumbulati & Abdul Futuh, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 195
[11] Ibid., 197
[12] Ibid., 199
[13] Aat Syafaat, dkk. Op. Cit., hlm. 40 - 46
[14] Umar Hasyim, Cara Mendidik Anak dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 158
[15] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: Rosda, 2012), hlm. 202
 
 

0 komentar:

Posting Komentar