Kini Ilalang Kecil Tak Lagi Sendiri

Sejak kecil Ilalang itu sendirian. Tak punya kawan, tak ada yang melihat, apalagi merawat. Tak heran, Ilalang itu selalu berulah, ingin diakui keberadaannya.

Bangga Menjadi Anak Petani

Pagi hari tak begitu berat bagi Ilalang. Namun, tidak bagi laki-laki paruh baya yang di pagi harinya harus bergegas pergi ke sawah sebagai seorang petani desa. Petani desa tersebut merupakan ayah dari Ilalang. Walau mereka bapak dan anak, namun mereka tak satu atap.

Televisi; hiburan, pendidikan atau perusak moral

Jangan biarkan anak menyaksikan acara yang tidak sesuai dengan usianya. Orang tua menemani sang anak nonton, bukan malah orang tua yang ditemani anak menonton televisi.

Antara Teori mengajar menurut Howard dengan Sepenggal kisah belajar Naruto

Jika ditelusuri lebih dalam, ternyata pendapat yang dikemukakan oleh Sudjana telah diimplementasikan oleh Naruto. Dalam kesehariannya berjalan menapaki kehidupan..

Satu Bulan Dalam Sanubaru Perjuangan

Seorang filsuf dan politikus Prancis bernama Charles de Montesquieu pernah mengatakan, “agar menjadi benar-benar hebat, seseorang harus berdiri dengan masyarakat, bukan berdiri di atas mereka”..

Setiap Tulisan Punya Pasarnya Sendiri

Jangan mengkerutkan dahi dan patah semangat. Ejekan seperti itu bukan menjadi alasan kita menaruh pena dan berhenti menulis. Berpikirlah positif!! Mungkin selerah mereka yang mengejek tulisan kita terlalu rendah, sehingga tidak tertarik dengan tulisan kita yang luar biasa.

Senin, 22 September 2014

Perjalanan Hati di Gunung Penanggungan



Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin

Sabtu 30 agustus 2014 pukul 08.00 WIB. Berangkat dari kampus Universitas Muhammadiyah Malang menuju tempat penyewaan perlengkapan pendakian di samping terminal Landung Sari. Seusai menata segala perlengkapan yang dibutuhkan, dengan kalimat Bismillah perjalanan menuju sang anak semeru pun dimulai. Hati yang riang saat perjalanan itu sempat berubah menjadi mencengangkan ketika salah satu teman kami mengalami kecelakaan yang dirasa lumayan parah. Walau tidak ada yang terluka, namun kecelakaan tersebut menghambat perjalanan kami karena terjadi kerusakan pada motor keduanya. Akhirnya demi kepentingan keselamatan bersama, kami pun menunda sejenak perjalanan kami untuk memperbaiki motor yang mengalami kendala dan mengistirahatkan hati yang gelisah.
Sekitar pukul 11.00 WIB, perbaikan motor kami telah selesai dan hati yang sempat gelisah akibat kecelakaan pada waktu itu telah hilang. Dengan penuh hati-hati kami pun melanjutkan kembali perjalanan menuju desa pendakian gunung penanggungan Pasuruan. Sekamir satu jam lebih 30 menit kami sampai di daerah trawas sebagai batas akhir dari jalan yang kami ketahui. Kemudian kami istirahat sejenak dipinggir jalan guna menghela nafas, sekaligus bertanya kepada salah satu penduduk yang ada disana mengenai jalur mana yang harus kami ambil untuk sampai di gunung penanggungan. Setelah mendapatkan petunjuk jalan yang sangat jelas, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Kesejukan kawasan trawas menemani perjalanan kami dikala itu, hingga suatu kejadian lucu pun terjadi saat motor kami tidak bisa menaiki tanjakan yang sangat tajam dan berliku. Mungkin ada beberapa penyebab mengapa motor teman kami ini tidak bisa menerjang tajamnya janjakan pegunungan, tapi kami tidak mempermasalahkan hal itu. Akhirnya muncul inisiatif saya untuk meninggalkan mereka dan berangkat terlebih dulu. Namun saya melakukan hal itu bukan untuk meninggalkan mereka, melainkan menurunkan teman yang saya bonceng kemudian kembali untuk menjemput salah satu dari mereka yang masih tertinggal di bawah. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa motor Vario saya bisa melaju kencang pada tanjakan yang tajam dan berliku sekalipun hehehe. Setelah semua telah melewati jalan yang menanjak tajam, kembali kami melanjutkan perjalanan, namun perjalanan kali ini lebih santai, karena sambil menikmati pemandangan yang indah di pegunungan.
Detik demi detik kami semakin mendekati gunung penanggungan, hingga kami salah mengambil jalan yang salah dan mengharuskan kami untuk memutar balik. Sekitar 15 menit kemudian sampailah kami di desa Jolotundo, desa yang merupakan tempat akhir penitipan kendaraan sekaligus start awal pendakian puncak gunung penanggungan. Seusai memarkir motor kami masing-masing, kami pun menggelar tikar sebagai alas untuk menghadap Sang Pencipta dalam sholat kami. Seusai sholat, kami membagi tugas untuk persiapan akhir, sebagian mengecek perlengkapan dan sebagian mengisi air untuk persediaan minum dan memasak.
Pukul 14.00 WIB, tibalah waktu bagi kami untuk mulai melakukan pendakian dengan target melihat sunset di puncak bayangan. Dengan dipimpin salah satu Imam Masjid AR. Fachrudin kami memanjatkan do’a kepada Allah, memohon keselamatan dalam perjalanan naik hingga turun besoknya. Setelah berdo’a pedakian pun dimulai, semangat yang menggebu menyertai langkah demi langkah kami. Belum sampai setengah perjalanan, panas terik matahari seakan menguras energi kami hingga memaksa kami untuk istirahat sejenak, hingga energi kami pulih kembali. Setelah dirasa cukup, perjalanan pun dimulai kembali. Di tengah-tengah perjalanan, kami berjumpa dengan kawan-kawan seperjuangan yang turun dari puncak gunung penanggungan, tegur sapa dan saling menyemangati pun tidak bisa terhindari diantara kami.
Memang capek dan berat, namun inilah perjuangan. Karena memang yang dibutuhkan saat itu adalah kaki yang akan melangkah lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan bekerja lebih lama dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, kepala yang selalu melihat ke atas, serta lapisan tekad yang lebih kuat daripada baja. Capek satu capek semua, inilah komitmen awal kami sebelum pendakian, jadi ketika yang satu berhenti maka semua berhenti sebagai wujud kepedulian. Memang benar, perjalanan ini bukan perjalanan biasa melainkan perjalanan hati. Kekompakan, kebersamaan dan kepedulian benar-benar tertanam dan tumbuh dalam pendakian.