(Mengungkap
Maksud Ontologi Ilmu Pendidikan Islami, Espistemologi Pengembangan Ilmu
Pendidikan Islami, dan Aksiologi Ilmu Pendidikan Islami)
Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin
Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin
1.
Apakah
(Ontologi) Ilmu Pendidikan Islami?
Ilmu Pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang
berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang dibawakan Nabi Muhammad saw.
Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia; ajaran itu
dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada Al-Quran dan hadits serta akal. Jika
demikian, maka Ilmu Pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan
Al-Quran, hadits, dan akal.
Jika berbicara tentang Ilmu Pendidikan Islami,
masih banyak orang yang kebingungan dalam membedakan antara Ilmu Pendidikan
Islami dengan Filsafat Pendidikan Islam. Sebelum membahas lebih jauh terkait ontologi
Ilmu Pendidikan Islami, penulis mencoba mengulas secara singkat tentang
perbedaan Ilmu Pendidikan Islami dengan Filsafat Pendidikan Islam, agar kita
tidak terjebak pada paralogisme.
Ilmu Pendidikan Islami dan Filsafat Pendidikan Islam
sekilas terlihat sama, namun jika dikaji secara mendalam, maka akan ditemukan
perbedaan antar keduanya. Ilmu (sain) merupakan pengetahuan yang logis dan
mempunyai bukti empiris, dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa Ilmu
Pendidikan Islami merupakan disiplin ilmu yang memuat tentang teori-teori
pendidikan Islam yang dapat dibuktikan secara logis sekaligus empiris. Adapun
filsafat adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis saja, dan memuat tentang
objek-objek yang abstrak. Suatu teori filsafat benar bila ia dapat dipertanggungjawabkan
secara logis, walau tidak ada butki empiris. Berdasarkan itu maka Filsafat
Pendidikan Islami adalah kumpulan teori pendidikan islami yang hanya dapat
dipertanggungjawabkan secara logis.
Dari paparan di atas, penulis mencoba memberikan kesimpulan
terkait apakah Ilmu Pendidikan Islami. Pertama, Ilmu Pendidikan Islami
merupakan disiplin ilmu yang memuat teori-teori pendidikan Islam yang mampu
dibuktikan secara logis dan empiris. Pendidikan merupakan suatu aksi nyata yang
di dalamnya melibatkan beberapa faktor, meliputi: Pendidik, siswa atau murid,
tempat untuk keberlangsungan pendidikan, hingga kurikulum yang menjadi acuan
dalam proses pendidikan. Karena pendidikan merupakan aksi nyata, maka
diperlukan sebuah teori yang dapat digunakan dalam kehidupan nyata tersebut,
baik sebagai pengiring ataupun solusi atas permasalahan.
Kedua, teori-teori pendidikan
yang termuat dalam Ilmu Pendidikan Islami haruslah berlandaskan Al-Quran,
hadits, dan akal. Penggunaan dasar ini haruslah berurutan; Al-Quran lebih
dahulu digunakan, jika Al-Quran masih belum terlihat jelas atau kongkrit, maka
diperjelas lagi di dalam hadits Nabi Muhammad saw, dan jika masih belum jelas
lagi, maka disinilah peran akal (pemikiran) untuk lebih memperjelas, namun
temuan akal tersebut tidak boleh bertentangan dengan jiwa Al-Quran dan hadits.
Oleh karena itu, teori dalam pendidikan Islami haruslah dilengkapi dengan
ayat-ayat Al-Quran atau hadits dan argumen akal yang menjamin teori tersebut.
2.
Bagaimana
Metode (Epistemologi) Pengembangan Ilmu Pendidikan Islami?
Pendidikan haruslah bersifat dinamis dan
kontekstual, agar pendidikan tidak diam di tempat, melainkan bergerak maju dan
menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Untuk itu diperlukan juga adanya metode
dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islami. Mengamati buku karya Prof. Dr.
Ahmad Tafsir “Ilmu Pendidikan Islami” penulis mengidentifikasi bahwa
metode yang dilakukan Ahmad Tafsir dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islami
adalah sosio-kultural. Metode ini mengaplikasikan pengembangan pendidikan
berdasarkan sosial dan budaya masyarakat, sehingga pendidikan Islam dapat
menyatu dengan baik dalam masyarakat.
Metode pengembangan berdasarkan sosio-kultural yang
ada dalam buku karya Ahmad Tafsir ini memang patut untuk diacungi jempol,
karena penulis sendiri belum pernah menjumpai hal-hal semacam ini di buku lain
yang membahasa pendidikan Islam. Kali ini penulis akan sedikit mengemukakan output
dari metode sosio-kultural dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam” ini. Pertama,
keterkaitan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam dengan falsafat negara, yang
dijadikan rujukan dalam mengoperasikan suatu negara. Mengembangkan pendidikan
sejalur dengan filsafat negara sangat perlu, karena pemerintah atau negara yang
menjadi pemegang kendali dari semua aktifitas yang berhubungan dengan
masyarakatnya. Suatu konsep pendidikan yang dianggap mapan akan sia-sia, ketika
konsep tersebut bertentangan dengan filsafat negara, akhirnya konsep tersebut
dianggap ilegal dan tidak disetujui, karena hal itu dapat memungkinkan kacaunya
sebuah sistem negara.
Kedua, keikutsertaan guru
dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Guru dalam falsafah jawa memiliki
arti “digugu lan ditiru”, yakni dipercaya dan ditiru. Guru selain tugas
pokoknya dalam teori kognitifisme adalah mentransfer ilmu pengetahuan kepada
murid, tidak ketinggalan guru juga sebagai teladan yang senantiasa diamati oleh
siswa atau murid. Jadi sudah barang tentu ketika guru melakukan sesuatu dan
dilihat oleh muridnya, hal yang dilakukan seorang guru akan dilakukan juga oleh
murid, seperti yang penulis paparkan di atas bahwa guru itu dipercaya dan
ditiru. Sebagai mediasi, guru juga memiliki peran dalam mengembangkan Ilmu
Pendidikan Islami, yakni mengoptimalkan suatu pengajaran dan teladan dalam
menyusun konsep pendidikan ataupun pengajaran, guna mengantarkan peserta
diriknya menuju pendidikan yang diharapkan.
Ketiga, mengembangkan Ilmu
Pendidikan Islam dari segi prosesnya. Penulis pernah mendengar kata mutiara “yang
terpenting bukan hasil, melainkan proses”. Menanggapi kata mutiara
ini ada benarnya, karena proses yang baik dan optimal akan berpeluang besar
menuaikan hasil yang baik pula, namun jika mementingkan hasil tanpa proses yang
baik, mungkin hanya akan terjebak pada pragmatisme belaka. Proses di sini
melibatkan proses pembelajaran dan di mana pengajaran itu dilakukan (tempat).
Menelaah dari buku karya Ahmad Tafsir ini. Dalam
proses pengajaran, seorang guru harusnya benar-benar profesional dan bukannya
abal-abal, baik dari segi kapasitas keilmuan dan teladan selaku guru maupun
cara mengajar. Selain itu, sebagai penunjang profesionalitas guru dalam
pembelajaran, tempat pembelajaran yang maksimal sangat dibutuhkan. Dalam
pembelajaran, tempat belajar menjadi hal yang sangat urgen, penulis sendiri
merasakan hal itu, ketika tidak nyaman dengan kondisi tempat belajar, ilmu yang
disampaikan guru bisa jadi tidak terserap secara optimal oleh siswa. Dengan
demikian perlu adanya sinkronisasi antara guru selaku pengajar dan tempat
belajar, guna mengoptimalkan pendidikan yang dijalankan.
3. Untuk
Apa (Aksiologi) Ilmu Pendidikan Islami?
Ahmad Tafsir di dalam bukunya nampaknya tidak
memaparkan secara langsung untuk apa sebenarnya Ilmu Pendidikan Islami atau
pendidikan Islam. Beliau lebih banyak memperbandingkan beberapa pendapat ahli.
Dalam pandangan penulis, Ahmad Tafsir ingin mengutarakan terkait untuk apa
(aksiologi) Ilmu Pendidikan Islam, bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk
menjadikan seluruh manusia menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah
(beribada kepada Allah). Ahmad Tafsir mengaitkan pandangan ini pada Al-Quran
surat Al-Dzariyat, yang artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Terkait dengan ibadah, Jalal menyatakan bahwa sebagian
orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaika sholat, mengeluarkan zakat,
puasa pada bulan Ramadhan, ibadah haji, dan mengucapkan syahadat. Sebenarnya
ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan kepada
Allah. Ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta
segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, dan
pikiran yang disandarkan kepada Allah.
Paparan di atas sedikitnya memberikan pandangan
kepada saya selaku penulis untuk memberikan kesimpulan. Pada pembahasan awal
tentang apakah (ontologi) Ilmu Pendidikan Islami, sudah kita ketahui bahwasanya
Ilmu Pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Karena
berdasarkan Islam, maka sudah semestinya metode (epistemologi) dalam
pengembangan Ilmu Pendidikan Islam pun harus sejalur dengan Islam (Al-Quran,
hadits, dan akal). Ketika kedua hal itu tersinkron dengan baik dan optimal,
maka harapan besar mengenai terwujudnya untuk apa (aksiologi) Ilmu Pendidikan
Islam atau pendidikan Islam seakan dalam genggaman tangan.
0 komentar:
Posting Komentar