Senin, 06 April 2015

Studi Pemikiran Prof. Dr. Ahmad Tafsir Tentang Ilmu Pendidikan Islami



(Mengungkap Maksud Ontologi Ilmu Pendidikan Islami, Espistemologi Pengembangan Ilmu Pendidikan Islami, dan Aksiologi Ilmu Pendidikan Islami)
Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin



1.  Apakah (Ontologi) Ilmu Pendidikan Islami?
Ilmu Pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Islam adalah nama agama yang dibawakan Nabi Muhammad saw. Islam berisi seperangkat ajaran tentang kehidupan manusia; ajaran itu dirumuskan berdasarkan dan bersumber pada Al-Quran dan hadits serta akal. Jika demikian, maka Ilmu Pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Al-Quran, hadits, dan akal.
Jika berbicara tentang Ilmu Pendidikan Islami, masih banyak orang yang kebingungan dalam membedakan antara Ilmu Pendidikan Islami dengan Filsafat Pendidikan Islam. Sebelum membahas lebih jauh terkait ontologi Ilmu Pendidikan Islami, penulis mencoba mengulas secara singkat tentang perbedaan Ilmu Pendidikan Islami dengan Filsafat Pendidikan Islam, agar kita tidak terjebak pada paralogisme.
Ilmu Pendidikan Islami dan Filsafat Pendidikan Islam sekilas terlihat sama, namun jika dikaji secara mendalam, maka akan ditemukan perbedaan antar keduanya. Ilmu (sain) merupakan pengetahuan yang logis dan mempunyai bukti empiris, dari kaidah ini dapat disimpulkan, bahwa Ilmu Pendidikan Islami merupakan disiplin ilmu yang memuat tentang teori-teori pendidikan Islam yang dapat dibuktikan secara logis sekaligus empiris. Adapun filsafat adalah sejenis pengetahuan manusia yang logis saja, dan memuat tentang objek-objek yang abstrak. Suatu teori filsafat benar bila ia dapat dipertanggungjawabkan secara logis, walau tidak ada butki empiris. Berdasarkan itu maka Filsafat Pendidikan Islami adalah kumpulan teori pendidikan islami yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara logis.
Dari paparan di atas, penulis mencoba memberikan kesimpulan terkait apakah Ilmu Pendidikan Islami. Pertama, Ilmu Pendidikan Islami merupakan disiplin ilmu yang memuat teori-teori pendidikan Islam yang mampu dibuktikan secara logis dan empiris. Pendidikan merupakan suatu aksi nyata yang di dalamnya melibatkan beberapa faktor, meliputi: Pendidik, siswa atau murid, tempat untuk keberlangsungan pendidikan, hingga kurikulum yang menjadi acuan dalam proses pendidikan. Karena pendidikan merupakan aksi nyata, maka diperlukan sebuah teori yang dapat digunakan dalam kehidupan nyata tersebut, baik sebagai pengiring ataupun solusi atas permasalahan.
Kedua, teori-teori pendidikan yang termuat dalam Ilmu Pendidikan Islami haruslah berlandaskan Al-Quran, hadits, dan akal. Penggunaan dasar ini haruslah berurutan; Al-Quran lebih dahulu digunakan, jika Al-Quran masih belum terlihat jelas atau kongkrit, maka diperjelas lagi di dalam hadits Nabi Muhammad saw, dan jika masih belum jelas lagi, maka disinilah peran akal (pemikiran) untuk lebih memperjelas, namun temuan akal tersebut tidak boleh bertentangan dengan jiwa Al-Quran dan hadits. Oleh karena itu, teori dalam pendidikan Islami haruslah dilengkapi dengan ayat-ayat Al-Quran atau hadits dan argumen akal yang menjamin teori tersebut.

2.  Bagaimana Metode (Epistemologi) Pengembangan Ilmu Pendidikan Islami?
Pendidikan haruslah bersifat dinamis dan kontekstual, agar pendidikan tidak diam di tempat, melainkan bergerak maju dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Untuk itu diperlukan juga adanya metode dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islami. Mengamati buku karya Prof. Dr. Ahmad Tafsir “Ilmu Pendidikan Islami” penulis mengidentifikasi bahwa metode yang dilakukan Ahmad Tafsir dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islami adalah sosio-kultural. Metode ini mengaplikasikan pengembangan pendidikan berdasarkan sosial dan budaya masyarakat, sehingga pendidikan Islam dapat menyatu dengan baik dalam masyarakat.
Metode pengembangan berdasarkan sosio-kultural yang ada dalam buku karya Ahmad Tafsir ini memang patut untuk diacungi jempol, karena penulis sendiri belum pernah menjumpai hal-hal semacam ini di buku lain yang membahasa pendidikan Islam. Kali ini penulis akan sedikit mengemukakan output dari metode sosio-kultural dalam buku “Ilmu Pendidikan Islam” ini. Pertama, keterkaitan pengembangan Ilmu Pendidikan Islam dengan falsafat negara, yang dijadikan rujukan dalam mengoperasikan suatu negara. Mengembangkan pendidikan sejalur dengan filsafat negara sangat perlu, karena pemerintah atau negara yang menjadi pemegang kendali dari semua aktifitas yang berhubungan dengan masyarakatnya. Suatu konsep pendidikan yang dianggap mapan akan sia-sia, ketika konsep tersebut bertentangan dengan filsafat negara, akhirnya konsep tersebut dianggap ilegal dan tidak disetujui, karena hal itu dapat memungkinkan kacaunya sebuah sistem negara.
Kedua, keikutsertaan guru dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam. Guru dalam falsafah jawa memiliki arti “digugu lan ditiru”, yakni dipercaya dan ditiru. Guru selain tugas pokoknya dalam teori kognitifisme adalah mentransfer ilmu pengetahuan kepada murid, tidak ketinggalan guru juga sebagai teladan yang senantiasa diamati oleh siswa atau murid. Jadi sudah barang tentu ketika guru melakukan sesuatu dan dilihat oleh muridnya, hal yang dilakukan seorang guru akan dilakukan juga oleh murid, seperti yang penulis paparkan di atas bahwa guru itu dipercaya dan ditiru. Sebagai mediasi, guru juga memiliki peran dalam mengembangkan Ilmu Pendidikan Islami, yakni mengoptimalkan suatu pengajaran dan teladan dalam menyusun konsep pendidikan ataupun pengajaran, guna mengantarkan peserta diriknya menuju pendidikan yang diharapkan.
Ketiga, mengembangkan Ilmu Pendidikan Islam dari segi prosesnya. Penulis pernah mendengar kata mutiara “yang terpenting bukan hasil, melainkan proses”. Menanggapi kata mutiara ini ada benarnya, karena proses yang baik dan optimal akan berpeluang besar menuaikan hasil yang baik pula, namun jika mementingkan hasil tanpa proses yang baik, mungkin hanya akan terjebak pada pragmatisme belaka. Proses di sini melibatkan proses pembelajaran dan di mana pengajaran itu dilakukan (tempat).
Menelaah dari buku karya Ahmad Tafsir ini. Dalam proses pengajaran, seorang guru harusnya benar-benar profesional dan bukannya abal-abal, baik dari segi kapasitas keilmuan dan teladan selaku guru maupun cara mengajar. Selain itu, sebagai penunjang profesionalitas guru dalam pembelajaran, tempat pembelajaran yang maksimal sangat dibutuhkan. Dalam pembelajaran, tempat belajar menjadi hal yang sangat urgen, penulis sendiri merasakan hal itu, ketika tidak nyaman dengan kondisi tempat belajar, ilmu yang disampaikan guru bisa jadi tidak terserap secara optimal oleh siswa. Dengan demikian perlu adanya sinkronisasi antara guru selaku pengajar dan tempat belajar, guna mengoptimalkan pendidikan yang dijalankan.

3. Untuk Apa (Aksiologi) Ilmu Pendidikan Islami?
Ahmad Tafsir di dalam bukunya nampaknya tidak memaparkan secara langsung untuk apa sebenarnya Ilmu Pendidikan Islami atau pendidikan Islam. Beliau lebih banyak memperbandingkan beberapa pendapat ahli. Dalam pandangan penulis, Ahmad Tafsir ingin mengutarakan terkait untuk apa (aksiologi) Ilmu Pendidikan Islam, bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk menjadikan seluruh manusia menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah (beribada kepada Allah). Ahmad Tafsir mengaitkan pandangan ini pada Al-Quran surat Al-Dzariyat, yang artinya “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku”.
Terkait dengan ibadah, Jalal menyatakan bahwa sebagian orang mengira ibadah itu terbatas pada menunaika sholat, mengeluarkan zakat, puasa pada bulan Ramadhan, ibadah haji, dan mengucapkan syahadat. Sebenarnya ibadah itu mencakup semua amal, pikiran, dan perasaan yang dihadapkan kepada Allah. Ibadah adalah jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang dilakukan manusia berupa perkataan, perbuatan, perasaan, dan pikiran yang disandarkan kepada Allah.
Paparan di atas sedikitnya memberikan pandangan kepada saya selaku penulis untuk memberikan kesimpulan. Pada pembahasan awal tentang apakah (ontologi) Ilmu Pendidikan Islami, sudah kita ketahui bahwasanya Ilmu Pendidikan Islami adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Karena berdasarkan Islam, maka sudah semestinya metode (epistemologi) dalam pengembangan Ilmu Pendidikan Islam pun harus sejalur dengan Islam (Al-Quran, hadits, dan akal). Ketika kedua hal itu tersinkron dengan baik dan optimal, maka harapan besar mengenai terwujudnya untuk apa (aksiologi) Ilmu Pendidikan Islam atau pendidikan Islam seakan dalam genggaman tangan.

0 komentar:

Posting Komentar