Senin, 22 September 2014

Perjalanan Hati di Gunung Penanggungan



Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin

Sabtu 30 agustus 2014 pukul 08.00 WIB. Berangkat dari kampus Universitas Muhammadiyah Malang menuju tempat penyewaan perlengkapan pendakian di samping terminal Landung Sari. Seusai menata segala perlengkapan yang dibutuhkan, dengan kalimat Bismillah perjalanan menuju sang anak semeru pun dimulai. Hati yang riang saat perjalanan itu sempat berubah menjadi mencengangkan ketika salah satu teman kami mengalami kecelakaan yang dirasa lumayan parah. Walau tidak ada yang terluka, namun kecelakaan tersebut menghambat perjalanan kami karena terjadi kerusakan pada motor keduanya. Akhirnya demi kepentingan keselamatan bersama, kami pun menunda sejenak perjalanan kami untuk memperbaiki motor yang mengalami kendala dan mengistirahatkan hati yang gelisah.
Sekitar pukul 11.00 WIB, perbaikan motor kami telah selesai dan hati yang sempat gelisah akibat kecelakaan pada waktu itu telah hilang. Dengan penuh hati-hati kami pun melanjutkan kembali perjalanan menuju desa pendakian gunung penanggungan Pasuruan. Sekamir satu jam lebih 30 menit kami sampai di daerah trawas sebagai batas akhir dari jalan yang kami ketahui. Kemudian kami istirahat sejenak dipinggir jalan guna menghela nafas, sekaligus bertanya kepada salah satu penduduk yang ada disana mengenai jalur mana yang harus kami ambil untuk sampai di gunung penanggungan. Setelah mendapatkan petunjuk jalan yang sangat jelas, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Kesejukan kawasan trawas menemani perjalanan kami dikala itu, hingga suatu kejadian lucu pun terjadi saat motor kami tidak bisa menaiki tanjakan yang sangat tajam dan berliku. Mungkin ada beberapa penyebab mengapa motor teman kami ini tidak bisa menerjang tajamnya janjakan pegunungan, tapi kami tidak mempermasalahkan hal itu. Akhirnya muncul inisiatif saya untuk meninggalkan mereka dan berangkat terlebih dulu. Namun saya melakukan hal itu bukan untuk meninggalkan mereka, melainkan menurunkan teman yang saya bonceng kemudian kembali untuk menjemput salah satu dari mereka yang masih tertinggal di bawah. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa motor Vario saya bisa melaju kencang pada tanjakan yang tajam dan berliku sekalipun hehehe. Setelah semua telah melewati jalan yang menanjak tajam, kembali kami melanjutkan perjalanan, namun perjalanan kali ini lebih santai, karena sambil menikmati pemandangan yang indah di pegunungan.
Detik demi detik kami semakin mendekati gunung penanggungan, hingga kami salah mengambil jalan yang salah dan mengharuskan kami untuk memutar balik. Sekitar 15 menit kemudian sampailah kami di desa Jolotundo, desa yang merupakan tempat akhir penitipan kendaraan sekaligus start awal pendakian puncak gunung penanggungan. Seusai memarkir motor kami masing-masing, kami pun menggelar tikar sebagai alas untuk menghadap Sang Pencipta dalam sholat kami. Seusai sholat, kami membagi tugas untuk persiapan akhir, sebagian mengecek perlengkapan dan sebagian mengisi air untuk persediaan minum dan memasak.
Pukul 14.00 WIB, tibalah waktu bagi kami untuk mulai melakukan pendakian dengan target melihat sunset di puncak bayangan. Dengan dipimpin salah satu Imam Masjid AR. Fachrudin kami memanjatkan do’a kepada Allah, memohon keselamatan dalam perjalanan naik hingga turun besoknya. Setelah berdo’a pedakian pun dimulai, semangat yang menggebu menyertai langkah demi langkah kami. Belum sampai setengah perjalanan, panas terik matahari seakan menguras energi kami hingga memaksa kami untuk istirahat sejenak, hingga energi kami pulih kembali. Setelah dirasa cukup, perjalanan pun dimulai kembali. Di tengah-tengah perjalanan, kami berjumpa dengan kawan-kawan seperjuangan yang turun dari puncak gunung penanggungan, tegur sapa dan saling menyemangati pun tidak bisa terhindari diantara kami.
Memang capek dan berat, namun inilah perjuangan. Karena memang yang dibutuhkan saat itu adalah kaki yang akan melangkah lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan bekerja lebih lama dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, kepala yang selalu melihat ke atas, serta lapisan tekad yang lebih kuat daripada baja. Capek satu capek semua, inilah komitmen awal kami sebelum pendakian, jadi ketika yang satu berhenti maka semua berhenti sebagai wujud kepedulian. Memang benar, perjalanan ini bukan perjalanan biasa melainkan perjalanan hati. Kekompakan, kebersamaan dan kepedulian benar-benar tertanam dan tumbuh dalam pendakian.

Setelah berjuang lebih dari dua jam, tibalah kami puncak bayangan, puncak yang akan kita gunakan sebagai camp atau tempat penginapan. Rasa letih dikala itu hilang seketika saat melihat keindahan sunset di puncak bayangan. Sekitar pukul 17.00 matahari menunjukan keindahanya hingga terpancar orange bercahaya yang menyejukan hati kami. Karena lagi musim-musimnya selfi, berfoto-foto pun tidak bisa kami tinggalkan, karena tidak setiap hari kami menjumpai pemandangan indah seperti itu. Setelah beristirahat sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak penanggungan, nemun selang beberapa menit kami membatalkan perjalanan kami dan akhirnya kembali ke puncak bayangan dan membuat tenda disana.
Matahari sudah terbenam dan kami pun mulai mendirikan tenda penginapan. Kekompakan kami kembali dibutuhkan saat membangun tenda dikala itu, dan mungkin tenda saya yang paling jelek diantara yang lain hingga diolok-olok, namun hal itu tidak menjadi indikasi bahwa kekompakan kami kurang karena semua kembali saling melengkapi. Adzan magrib sudah berkumandang dan tiba saatnya bagi kami untuk kembali menghadap Sang Pencipta dalam sholat kami. Setelah sholat, sebagian dari kami ada yang mempersiapkan perlengkapan untuk masak, dan sebagian lainya mencari kayu dan ranting yang bisa dijadikan api unggun untuk menghangatkan diri dari dinginya udara di puncak bayangan. 30 menit berlalu, makanan yang awalnya disembunyikan dariku telah disajikan untuk kami makan bersama. Setelah makan, kami tak mau ketinggalan menikmati pemandangan yang indah kerlap-kerlip cahaya lampu dari puncak bayangan. Masya’allah, kalimat ini selalu terpanjat di hati kami sebagai wujud takjub kepada Allah akan segala ciptaanya.
Malam semakin larut, tiba saatnya untuk mengisi kembali energi dan semangat dalam istirahat kami. Mungkin diantara kami, saya satu-satunya yang tidak bisa tidur diwaktu itu. Bagaimana tidak, saat yang lain hangat di dalam tenda, saya sendiri tidur diluar beratapkan awan mendung. Dingin sudah pasti jelas, apalagi sleeping bag saya tidak memungkinkan untuk saya pakai dikarenakan ukuran yang tidak pas, mungkin ini sebagai langkah muhasabah diri untuk mengecilkan perut sehingga lain waktu sleeping bag bisa saya pakai untuk menghangatkan diri.
Pukul 02.00 WIB alarm mulai berdering sebagai tanda bahwa kami harus segera melanjutkan perjalanan menuju puncak penanggungan. Namun sesuatu yang tidak kami inginkan terjadi, disaat salah satu dari teman kami mengalami hipotermia sehingga tidak bisa ikut melanjutkan pendakian. Dengan berat hati, salah satu teman kami merelakan pendakian untuk menemani ia yang hipotermia di dalam hangatnya tenda. Mungkin inilah yang namanya pengorbanan seorang sahabat, yang penuh dengan kepedulian dan kasih sayang. Setelah persiapan selesai, dua sahabat kami yang menetap di tenda menitipkan salam kepada kami untuk mentari di puncak. Setelah berdo’a, kami kembali menapaki gunung penanggungan dalam dingin.
Dalam kegelapan dan dingin kami melangkah. Cahaya lampu yang mengiringi langkah kami menjadi tanda bahwa manusia lemah, yang selalu membutuhkan yang lain dan bergantung kepada Sang Pencipta. Berbeda dengan pendakian dikala siang, pendakian malam itu terasa lebih ringan, mungkin karena udara dingin yang menyelimuti kami. Setelah hampir dua jam kami mendaki, puncak penanggungan sudah terlihat di depan mata dan beberapa menit kemudian sampailah kami di puncak gunung penanggungan. Ahamdulillah, kalimat inilah yang kami ucapkan setelah sampai dipuncak.
Berbeda dengan di puncak bayangan, di puncak penanggungan yang tingginya 1.600 mdpl ini kami tidak bisa mendengarkan adzan yang berkumandang. Namun dari jadwal sholat yang ada di hp saya sudah menunjukan waktu sholat subuh, kami pun bergegas untuk sholat subuh diatas puncak. Setelah sholat, kami sedikit beristirahat. Namun bunyi krucuk-krucuk dari perut mulai terdengar, dan kami pun kambali memasak untuk mengisi kekosongan perut ini. Konsentrasi masak kami pecah setelah di ufuk timur sana sudah mulai memerah, menandakan bahwa sebentar lagi sang surya akan bersinar.
Pada akhirnya moment yang kami tunggu-tunggu telah tiba, yakni melihat sunrise dari puncak gunung penanggungan. Keindahan puncak bayangan tidak sebanding dengan keindahan dari puncak ini. Timur dengan sunrise, selatan dengan pemandangan gunung arjuna dan welirang serta kilauan yang ada di ufuk barat, kemudian tak kalah menarik di jauh sana kami dapat melihat puncak semeru. Tidak mau kalah pada saat di puncak bayangan, di puncak penanggungan ini kami lebih banyak mengabadikan moment indah kebersamaan kami dalam foto. Mengibarkan bendera Muhammadiyah dan IMM pun tidak ketinggalan, karena memang inilah tujuan kami dari awal. Karena terbawa suasana yang menakjubkan kami pun menjadi lupa dengan krucuk-krucuk perut kami, namun tetap saja setelah itu berbagi kebersamaan dalam makan bersama menjadi sangat mengenang. Dan akhirnya, tiba saatnya untuk kami kembali ke tenda untuk menjenguk sahabat kami yang tinggal di tenda. sebelum turun kami berjumpa dengan kelompok dari bonex fans club, berbeda dengan yang lain, di puncak kami dari arema tidak ribut dengan bonex, melainkan melebur dalam kedamaian sesama pendaki.
Rasa kawatir kami terobati ketika sampai di camp dan melihat sahabat kami yang hipotermia sudah segar bugar, meskipun di raut wajah dua sahabat kami ini sedikit tergambar wajah penyesalan tidak bisa sampai puncak bersama kami hehe. Sesudah itu, kami berkemas-kemas untuk melakukan perjalanan pulang. Bukan tenda yang rusak ataupun sleeping bag yang sobek, namun head lamp yang hilang dari sarangnya yang membuat kami lama dalam mengemas barang untuk pulang, hingga tas yang sudah rapi kembali dibongkar. Namun apa daya, head lamp sudah menghilang, dan kami pun berkomitmen untuk menggantinya seusai sampai di malang nanti dan perjalanan turun pun dimulai.
Sekitar dua jam kemudian kami sampai di kaki gunung penanggungan. Rasa kangen akan keindahan puncak dikala itu masih membekas di hati, namun mau tidak mau kita harus kembali ke malang. Setelah berkemas dan membayar administrasi parkir motor, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan penuh rasa syukur. Ditengah perjalanan saya berhenti di salah satu masjid gede di daerah itu untuk sholat dan bersih-bersih sekaligus menunggu sahabat-sahabat yang masih tertinggal di belakang. Perjalanan kami kembali terhambat karena berlangsungnya karnaval hari kemerdekaan di daerah trawas, namun kami tetap menerobos dalam keramaian agar lebih cepat sampai di malang, karena tidak mungkin bagi kami untuk menunggu hingga karnaval selesai.
Perjalanan yang awalnya lancar kembali kita gunakan untuk saling menunggu, hingga terdengar kabar bahwa salah satu dari sahabat kami mengambil jalur yang berbeda dari kami. Makan bareng yang direncanakan makan di masakan padang tertunda, dan di putuskan kami dan satu sahabat kami yang mengambil jalur cangar bertemu di masjid AR. Fachrudin UMM. Beberapa jam kemudian sampailah kami di masjid AR. Fachrudin, namun kami belum menjumpai sahabat kami ini di tempat. Beberapa menit kemudian barulah ia sampai, dengan wajahnya yang mringis tanpa beban mambuat kami merasa senang karena bisa kembali berkumpul semua dengan selamat. Kemudian sebagai endingnya, kami makan bersama walaupun dua sahabat kami ada yang memilih untuk pulang terlebih dahulu karena semakin larut malam. Perjalanan ini mungkin singkat namun sangat menengenang, dan mungkin tidak akan pernah terlupakan. Bukan begitu kawan...?? :)

0 komentar:

Posting Komentar