Oleh.
Abdul Rozak Ali Maftuhin
Sabtu
30 agustus 2014 pukul 08.00 WIB. Berangkat dari kampus Universitas Muhammadiyah
Malang menuju tempat penyewaan perlengkapan pendakian di samping terminal
Landung Sari. Seusai menata segala perlengkapan yang dibutuhkan, dengan kalimat
Bismillah perjalanan menuju sang anak semeru pun dimulai. Hati yang riang saat
perjalanan itu sempat berubah menjadi mencengangkan ketika salah satu teman
kami mengalami kecelakaan yang dirasa lumayan parah. Walau tidak ada yang
terluka, namun kecelakaan tersebut menghambat perjalanan kami karena terjadi
kerusakan pada motor keduanya. Akhirnya demi kepentingan keselamatan bersama,
kami pun menunda sejenak perjalanan kami untuk memperbaiki motor yang mengalami
kendala dan mengistirahatkan hati yang gelisah.
Sekitar
pukul 11.00 WIB, perbaikan motor kami telah selesai dan hati yang sempat
gelisah akibat kecelakaan pada waktu itu telah hilang. Dengan penuh hati-hati
kami pun melanjutkan kembali perjalanan menuju desa pendakian gunung
penanggungan Pasuruan. Sekamir satu jam lebih 30 menit kami sampai di daerah
trawas sebagai batas akhir dari jalan yang kami ketahui. Kemudian kami
istirahat sejenak dipinggir jalan guna menghela nafas, sekaligus bertanya
kepada salah satu penduduk yang ada disana mengenai jalur mana yang harus kami
ambil untuk sampai di gunung penanggungan. Setelah mendapatkan petunjuk jalan
yang sangat jelas, kami kembali melanjutkan perjalanan.
Kesejukan
kawasan trawas menemani perjalanan kami dikala itu, hingga suatu kejadian lucu
pun terjadi saat motor kami tidak bisa menaiki tanjakan yang sangat tajam dan
berliku. Mungkin ada beberapa penyebab mengapa motor teman kami ini tidak bisa
menerjang tajamnya janjakan pegunungan, tapi kami tidak mempermasalahkan hal
itu. Akhirnya muncul inisiatif saya untuk meninggalkan mereka dan berangkat
terlebih dulu. Namun saya melakukan hal itu bukan untuk meninggalkan mereka,
melainkan menurunkan teman yang saya bonceng kemudian kembali untuk menjemput
salah satu dari mereka yang masih tertinggal di bawah. Tak bisa dipungkiri lagi
bahwa motor Vario saya bisa melaju kencang pada tanjakan yang tajam dan berliku
sekalipun hehehe. Setelah semua telah melewati jalan yang menanjak tajam,
kembali kami melanjutkan perjalanan, namun perjalanan kali ini lebih santai,
karena sambil menikmati pemandangan yang indah di pegunungan.
Detik
demi detik kami semakin mendekati gunung penanggungan, hingga kami salah
mengambil jalan yang salah dan mengharuskan kami untuk memutar balik. Sekitar
15 menit kemudian sampailah kami di desa Jolotundo, desa yang merupakan tempat
akhir penitipan kendaraan sekaligus start awal pendakian puncak gunung
penanggungan. Seusai memarkir motor kami masing-masing, kami pun menggelar
tikar sebagai alas untuk menghadap Sang Pencipta dalam sholat kami. Seusai
sholat, kami membagi tugas untuk persiapan akhir, sebagian mengecek
perlengkapan dan sebagian mengisi air untuk persediaan minum dan memasak.
Pukul
14.00 WIB, tibalah waktu bagi kami untuk mulai melakukan pendakian dengan
target melihat sunset di puncak bayangan. Dengan dipimpin salah satu Imam
Masjid AR. Fachrudin kami memanjatkan do’a kepada Allah, memohon keselamatan
dalam perjalanan naik hingga turun besoknya. Setelah berdo’a pedakian pun
dimulai, semangat yang menggebu menyertai langkah demi langkah kami. Belum
sampai setengah perjalanan, panas terik matahari seakan menguras energi kami
hingga memaksa kami untuk istirahat sejenak, hingga energi kami pulih kembali.
Setelah dirasa cukup, perjalanan pun dimulai kembali. Di tengah-tengah
perjalanan, kami berjumpa dengan kawan-kawan seperjuangan yang turun dari
puncak gunung penanggungan, tegur sapa dan saling menyemangati pun tidak bisa
terhindari diantara kami.
Memang
capek dan berat, namun inilah perjuangan. Karena memang yang dibutuhkan saat
itu adalah kaki yang akan melangkah lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan
bekerja lebih lama dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari
biasanya, kepala yang selalu melihat ke atas, serta lapisan tekad yang lebih
kuat daripada baja. Capek satu capek semua, inilah komitmen awal kami sebelum
pendakian, jadi ketika yang satu berhenti maka semua berhenti sebagai wujud
kepedulian. Memang benar, perjalanan ini bukan perjalanan biasa melainkan
perjalanan hati. Kekompakan, kebersamaan dan kepedulian benar-benar tertanam
dan tumbuh dalam pendakian.
Setelah
berjuang lebih dari dua jam, tibalah kami puncak bayangan, puncak yang akan
kita gunakan sebagai camp atau tempat penginapan. Rasa letih dikala itu hilang
seketika saat melihat keindahan sunset di puncak bayangan. Sekitar pukul 17.00
matahari menunjukan keindahanya hingga terpancar orange bercahaya yang
menyejukan hati kami. Karena lagi musim-musimnya selfi, berfoto-foto pun tidak
bisa kami tinggalkan, karena tidak setiap hari kami menjumpai pemandangan indah
seperti itu. Setelah beristirahat sejenak, kami kembali melanjutkan perjalanan
menuju puncak penanggungan, nemun selang beberapa menit kami membatalkan
perjalanan kami dan akhirnya kembali ke puncak bayangan dan membuat tenda
disana.
Matahari
sudah terbenam dan kami pun mulai mendirikan tenda penginapan. Kekompakan kami
kembali dibutuhkan saat membangun tenda dikala itu, dan mungkin tenda saya yang
paling jelek diantara yang lain hingga diolok-olok, namun hal itu tidak menjadi
indikasi bahwa kekompakan kami kurang karena semua kembali saling melengkapi.
Adzan magrib sudah berkumandang dan tiba saatnya bagi kami untuk kembali
menghadap Sang Pencipta dalam sholat kami. Setelah sholat, sebagian dari kami
ada yang mempersiapkan perlengkapan untuk masak, dan sebagian lainya mencari
kayu dan ranting yang bisa dijadikan api unggun untuk menghangatkan diri dari
dinginya udara di puncak bayangan. 30 menit berlalu, makanan yang awalnya
disembunyikan dariku telah disajikan untuk kami makan bersama. Setelah makan,
kami tak mau ketinggalan menikmati pemandangan yang indah kerlap-kerlip cahaya
lampu dari puncak bayangan. Masya’allah, kalimat ini selalu terpanjat di hati
kami sebagai wujud takjub kepada Allah akan segala ciptaanya.
Malam
semakin larut, tiba saatnya untuk mengisi kembali energi dan semangat dalam
istirahat kami. Mungkin diantara kami, saya satu-satunya yang tidak bisa tidur
diwaktu itu. Bagaimana tidak, saat yang lain hangat di dalam tenda, saya
sendiri tidur diluar beratapkan awan mendung. Dingin sudah pasti jelas, apalagi
sleeping bag saya tidak memungkinkan untuk saya pakai dikarenakan ukuran yang
tidak pas, mungkin ini sebagai langkah muhasabah diri untuk mengecilkan perut
sehingga lain waktu sleeping bag bisa saya pakai untuk menghangatkan diri.
Pukul
02.00 WIB alarm mulai berdering sebagai tanda bahwa kami harus segera
melanjutkan perjalanan menuju puncak penanggungan. Namun sesuatu yang tidak
kami inginkan terjadi, disaat salah satu dari teman kami mengalami hipotermia
sehingga tidak bisa ikut melanjutkan pendakian. Dengan berat hati, salah satu
teman kami merelakan pendakian untuk menemani ia yang hipotermia di dalam
hangatnya tenda. Mungkin inilah yang namanya pengorbanan seorang sahabat, yang
penuh dengan kepedulian dan kasih sayang. Setelah persiapan selesai, dua
sahabat kami yang menetap di tenda menitipkan salam kepada kami untuk mentari
di puncak. Setelah berdo’a, kami kembali menapaki gunung penanggungan dalam
dingin.
Dalam
kegelapan dan dingin kami melangkah. Cahaya lampu yang mengiringi langkah kami
menjadi tanda bahwa manusia lemah, yang selalu membutuhkan yang lain dan
bergantung kepada Sang Pencipta. Berbeda dengan pendakian dikala siang,
pendakian malam itu terasa lebih ringan, mungkin karena udara dingin yang
menyelimuti kami. Setelah hampir dua jam kami mendaki, puncak penanggungan
sudah terlihat di depan mata dan beberapa menit kemudian sampailah kami di
puncak gunung penanggungan. Ahamdulillah, kalimat inilah yang kami ucapkan
setelah sampai dipuncak.
Berbeda
dengan di puncak bayangan, di puncak penanggungan yang tingginya 1.600 mdpl ini
kami tidak bisa mendengarkan adzan yang berkumandang. Namun dari jadwal sholat
yang ada di hp saya sudah menunjukan waktu sholat subuh, kami pun bergegas untuk
sholat subuh diatas puncak. Setelah sholat, kami sedikit beristirahat. Namun
bunyi krucuk-krucuk dari perut mulai terdengar, dan kami pun kambali memasak
untuk mengisi kekosongan perut ini. Konsentrasi masak kami pecah setelah di
ufuk timur sana sudah mulai memerah, menandakan bahwa sebentar lagi sang surya
akan bersinar.
Pada
akhirnya moment yang kami tunggu-tunggu telah tiba, yakni melihat sunrise dari
puncak gunung penanggungan. Keindahan puncak bayangan tidak sebanding dengan
keindahan dari puncak ini. Timur dengan sunrise, selatan dengan pemandangan
gunung arjuna dan welirang serta kilauan yang ada di ufuk barat, kemudian tak
kalah menarik di jauh sana kami dapat melihat puncak semeru. Tidak mau kalah
pada saat di puncak bayangan, di puncak penanggungan ini kami lebih banyak mengabadikan
moment indah kebersamaan kami dalam foto. Mengibarkan bendera Muhammadiyah dan
IMM pun tidak ketinggalan, karena memang inilah tujuan kami dari awal. Karena
terbawa suasana yang menakjubkan kami pun menjadi lupa dengan krucuk-krucuk
perut kami, namun tetap saja setelah itu berbagi kebersamaan dalam makan
bersama menjadi sangat mengenang. Dan akhirnya, tiba saatnya untuk kami kembali
ke tenda untuk menjenguk sahabat kami yang tinggal di tenda. sebelum turun kami
berjumpa dengan kelompok dari bonex fans club, berbeda dengan yang lain, di
puncak kami dari arema tidak ribut dengan bonex, melainkan melebur dalam
kedamaian sesama pendaki.
Rasa
kawatir kami terobati ketika sampai di camp dan melihat sahabat kami yang
hipotermia sudah segar bugar, meskipun di raut wajah dua sahabat kami ini
sedikit tergambar wajah penyesalan tidak bisa sampai puncak bersama kami hehe.
Sesudah itu, kami berkemas-kemas untuk melakukan perjalanan pulang. Bukan tenda
yang rusak ataupun sleeping bag yang sobek, namun head lamp yang hilang dari
sarangnya yang membuat kami lama dalam mengemas barang untuk pulang, hingga tas
yang sudah rapi kembali dibongkar. Namun apa daya, head lamp sudah menghilang,
dan kami pun berkomitmen untuk menggantinya seusai sampai di malang nanti dan
perjalanan turun pun dimulai.
Sekitar
dua jam kemudian kami sampai di kaki gunung penanggungan. Rasa kangen akan
keindahan puncak dikala itu masih membekas di hati, namun mau tidak mau kita
harus kembali ke malang. Setelah berkemas dan membayar administrasi parkir
motor, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan penuh rasa syukur. Ditengah
perjalanan saya berhenti di salah satu masjid gede di daerah itu untuk sholat
dan bersih-bersih sekaligus menunggu sahabat-sahabat yang masih tertinggal di
belakang. Perjalanan kami kembali terhambat karena berlangsungnya karnaval hari
kemerdekaan di daerah trawas, namun kami tetap menerobos dalam keramaian agar
lebih cepat sampai di malang, karena tidak mungkin bagi kami untuk menunggu
hingga karnaval selesai.
Perjalanan
yang awalnya lancar kembali kita gunakan untuk saling menunggu, hingga
terdengar kabar bahwa salah satu dari sahabat kami mengambil jalur yang berbeda
dari kami. Makan bareng yang direncanakan makan di masakan padang tertunda, dan
di putuskan kami dan satu sahabat kami yang mengambil jalur cangar bertemu di
masjid AR. Fachrudin UMM. Beberapa jam kemudian sampailah kami di masjid AR.
Fachrudin, namun kami belum menjumpai sahabat kami ini di tempat. Beberapa
menit kemudian barulah ia sampai, dengan wajahnya yang mringis tanpa beban
mambuat kami merasa senang karena bisa kembali berkumpul semua dengan selamat.
Kemudian sebagai endingnya, kami makan bersama walaupun dua sahabat kami ada
yang memilih untuk pulang terlebih dahulu karena semakin larut malam.
Perjalanan ini mungkin singkat namun sangat menengenang, dan mungkin tidak akan
pernah terlupakan. Bukan begitu kawan...?? :)
0 komentar:
Posting Komentar