Oleh. Arin al-Aziz
Ada yang mengatakan kalau sarjana semestinya tidak mencari kerja,
tapi menciptakan lapangan pekerjaan baru agar bisa mempekerjakan orang-orang
yang belum bekerja. Saran itu sangat bagus dan konstruktif, namun sebenarnya
tidak selalu relevan pada semua jenis pekerjaan. Mereka yang belum bekerja,
atau katakanlah pengangguran, tidak semata karena belum mendapatkan pekerjaan,
melainkan karena tidak memiliki skill pada bidang pekerjaan tertentu. Misalkan,
ada lowongan pekerjaan menjadi penjaga warnet, namun yang bersangkutan sama
sekali buta teknologi, dan kalau di paksa bekerja, hasilnya juga tidak
maksimal.
Begitu pun misalkan, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
desain. Ada banyak lowongan untuk menjadi desainer visual, tapi tidak semua
orang memiliki skill tersebut. Salah seorang editor senior di koran terkenal di
Malang juga sempat mengeluhkan susahnya mencari wartawan. Juga sebuah CV jasa
pengembang website yang susah mencari kontent writer. Belum lagi bidang lain
seperti Pendidikan, akuntan, translator, dll. Masalah utamanya bukan kurangnya
lapangan pekerjaan, tapi minimnya skill yang dimiliki sehingga meskipun ada
lowongan pekerjaan, mereka tidak terserap.
Untuk membuka lapangan pekerjaan pun juga tidaklah mudah. Selain
butuh skill, jaringan, kemampuan manajemen dan leadership. Membuka lapangan
pekerjaan adalah hal yang bagus, atau minimal memiliki usaha yang dikerjakan
sendiri. Tapi masuk dalam sebuah perusahaan dan lembaga untuk ikut
mengembangkan di dalamnya juga tidak kalah bagus. Meskipun tidak menciptakan
lapangan pekerjaan baru, tapi ikut mengembangkan lapangan pekerjaan yang sudah
ada juga sangat penting.
Misalkan, Sarjana ekonomi yang akhirnya bekerja di sebuah
perusahaan retail. Selain dia bekerja sesuai posisi yang dia emban, dia juga
bisa melakukan inovasi atau kreatifitas agar pekerjaannya lebih baik
dibandingkan yang bekerja di posisi itu sebelumnya. Misalkan juga, sarjana
pendidikan yang akhirnya mengajar di sebuah sekolah yang kurang maju. Dia
kemudian memberikan ide-ide, mencari jaringan, dsb sehingga sekolah itu bisa
lebih maju.
Bisa juga, sarjana pertanian yang kemudian bekerja di departement
pertanian dan ikut serta mengembangkan pertanian dengan sumbangsih
pemikirannya. Kemampuan mengembangkan lembaga yang sudah ada itu sering disebut
interpreneur. Jadi, bangsa ini memang membutuhkan banyak enterpreneur, tapi
juga membutuhkan interpreneur agar lembaga-lembaga yang sudah ada, bisa lebih
maksimal perannya. Masih banyak sekolah-sekolah yang meski gurunya rata-rata
sarjana, tapi lembaganya kurang maju. Memang ada pemerintah yang bertugas
mengurus itu, tapi mengandalkan pemerintah terbukti tidak selalu bisa.
Banyak juga lembaga-lembaga formal yang pelayanannya tidak maksimal
atau programnya kurang berjalan baik. Sementara sarjana-sarjana yang cemerlang
justru bekerja di sektor informal. Misalkan, kenapa Televisi Nasional yang
dikelola Pemerintah, yang usianya setengah abad lebih, bisa dengan mudah
tersaingi atau bahkan kalah dengan televisi swasta yang usianya belum genap dua
dasawarsa. Tentu akan berbeda jika misalkan teknisi terbaik setiap
universitas kemudian direkrut untuk mengembangkan lembaga tersebut.
Bisa juga seorang teknokrat yang memutuskan untuk berwiraswasta
dengan membuat lembaga penelitian seadanya. Lembaganya itu barangkali bisa
mempekerjakan orang, tapi andai dia bekerja di lembaga yang memiliki akses dan
dana yang besar, bukankah kemampuannya itu bisa lebih terwadahi? Kita melihat
sendiri salah seorang ahli mobil listrik, yang di perusahaan sebelumnya di
Jepang memiliki ruang terbuka untuk mengaktualisasikan karya-karyanya, namun
nampak terseok-seok ketika harus berjuang sendiri dengan fasilitas seadanya.
Andaikan dia bekerja di perusahaan mobil listrik nasional misalkan
(andaikan ada) dan didukung oleh fasilitas dan pendanaan yang kuat dari
pemerintah, tentu akan luar biasa. Dana yang digelontorkan untuk produksi itu
tidak habis begitu saja, setelah karya jadi dan pasar dalam negeri terbuka,
maka bisa menjadi income negara yang besar pula.
Yang menjadi soal kemudian, berapa banyak sarjana cemerlang yang
bersedia bekerja di lembaga pemerintah yang aturan birokrasinya begitu ketat
itu? inilah yang membuat mereka masuk ke sektor swasta atau setidaknya membuka
pekerjaan sendiri. Ada banyak lembaga swasta yang akhirnya lebih maju, dan tak
sedikit lembaga pemerintah yang menyerap tenaga non ahli karena desakan
kebutuhan.
Jadi tidak harus membuka lapangan pekerjaan sendiri, bisa juga
masuk dan mengembangkan lapangan pekerjaan yang sudah ada. Karena menjadi
enterpreneur maupun Intrapreneur, keduanya sama pentingnya.
0 komentar:
Posting Komentar