Senin, 15 Februari 2016

Hujan


Oleh. Rozz Imperata

Air itu disebut hujan. Sebelum turun dari gumpalan awan mendung, ia disebut air, hanya air. Turunnya hujan membawa kenikmatan tersendiri bagi sebagian orang, walau sebagian yang lain mengeluh karenanya. Sebut saja seorang petani yang menantikan ladangnya teraliri oleh air, sehingga apa yang mereka tanam di ladang mendapatkan makanan yang melimpah. Selain itu, hujan dapat menyejukan tubuh para petani yang sebelumnya kepanasan di bawah terik sinar matahari.
Beda petani, beda remaja kota yang tak tahu apa itu kekeringan dan serunya air hujan. Mungkin karena hujan mereka anggap sebagai bencana, yang mana bisa membatalkan kencan yang sudah dijadwalkan beberapa hari yang lalu. Atau listrik yang sering mati ketika hujan, sehingga tidak lagi bisa memainkan permainan online di warnet. Berbeda dengan suasana pedesaan. Hujan turun, anak-anak bahkan remaja sangat menikmati guyuran air hujan. Biasanya mereka menggunakan waktu itu untuk bermain sepak bola di lapangan dengan kondisi yang licin, atau main seluncur tanah liat di bengawan belakang rumah.
Sekarang tradisi hujan-hujan sudah jarang kulihat. Dan kurasa hilangnya tradisi itu bukan merupakan suatu kesalahan. Mengapa? Dulu setelah seru-seruan di bawah guyuran air hujan, tubuhku masih dalam kondisi sehat. Namun kini banyak kudengar, bahwa setiap anak setelah hujan-hujan, ia jatuh sakit. Bahkan tak jarang hal itu terjadi juga pada orang yang sudah dewasa.
Aku terheran, mengapa demikian? Apa karena daya tahan tubuh orang-orang zaman sekarang tak sekebal masaku dulu. Mungkin bukan, lalu apa? Apa karena sikap lebay mulai melekat pada orang-orang masa kini. Atau karena banyaknya polusi yang berterbangan dan menyatu bersama kawanan awan mendung, sehingga menyebabkan terjadi hujan asam.
Aku tak tahu itu. Yang jelas aku bersyukur sempat menikmati masa kecilku saat teknologi belum secanggih ini. Tawaku tidak disebabkan karena video lucu pada smartphone yang kugenggam. Melainkan karena bola yang aku tendang mengenai kepala temanku, yang justru ia tertawa saat jatuh tersungkur dalam kubangan air hujan. Salam dari anak masa lalu. Kami rindu hal itu.

0 komentar:

Posting Komentar