Rabu, 25 Februari 2015

Urgensi Pendidikan Islam Dalam Spiritulalitas Religius




( Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin )

Umat Islam pada saat ini berada pada masa yang lemah dalam segala aspek kehidupan sosial budaya,  yang mana harus berhadapan dengan dunia modern yang serba psraktis dan maju. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh terjebak pada romantisme, artinya menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan masa lalu yang terwujud dalam sejarah Islam, sementara saat ini Islam masih silau menghadapi masa depannya. umat Islam memang berada dalam suasana problematik. Jika sekarang umat Islam masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam hasil penafsiran ulama terdahulu yang dianggap sebagai ajaran  yang mapan  dan sempurna serta paten, berarti mereka memiliki intelektual sebatas itu saja yang pada akhirnya menghadapi masa depan suram.
Oleh karena itu, disinilah pentingnya pendidikan Islam, yang dapat mengarahkan dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam, yang merupakan warisan ajaran yang turun temurun agar mampu beradaptasi dan menjawab tantangan serta tuntutan zaman dan dunia modern, dengan tetap berpegang pada sumber ajaran Islam yang murni dan asli, yaitu al-Quran dan As-sunnah. Pendidikan Islam juga dapat diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat Islam agar tetap menjadi seorang muslim sejati yang hidup dalam dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman modern maupun era global sekarang.
Dengan sedikit stimulus di atas, setidaknya pendidikan Islam sangat diharapkan perannya dalam membangun kembali peradaban umat Islam yang maju. Namun pada nyatanya hal itu berbanding terbalik dengan realita yang ada, khususnya di Indonesia. Kegagalan pendidikan agama saat ini menuntut perhatian serius oleh semua pihak baik pemerintah, pengusaha, legislative, masyarakat, maupun keluarga. Hal ini cukup beralasan karena saat ini moral anak bangsa telah berada pada suatu titik yang sangat memperihatinkan. Maraknya tawuran antar pelajar, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, merebaknya seks bebas di kalangan pelajar selalu kita dengar dan saksikan setiap hari melalui berbagai media. Berdasarkan penelitian tauran antar pelajar dari tahun ke tahun semakin meningkat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan.
Menurut Kautsar Azhari Noer (2001), ada empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama Islam. Pertama, penekananya pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai “pelengkap” yang dipandang sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi; dan keempat, kurangnya perhatian untuk perhatikan untuk mempelajari agama-agama lain (Noer dalam Sumartana, 2001: 239-240).
Dari paparan menurut Kautsar Azhari di atas, setidaknya dapat disimpulkan, bahwa pendidikan Islam dapat dikatakan berhasil apabila peserta didik mampu mengaplikasikan nilai-nilai religi yang didapat dari proses pembelajaran yang diberikan oleh guru, terlebih guru agama Islam. Bukan hanya itu, dalam riset oleh beberapa ahli menyebutkan, bahwa spiritualitas adalah urutan pertama dalam menentukan keberhasilan seseorang. Maka jika dihubungkan dengan pendidikan Islam, spiritualitas haruslah dikedepankan, karena selain moralitas akan melekat dalam diri, spiritualitas juga akan menjadi pacuan atau pondasi kita saat menggapai dan setelah mencapai keberhasilan. Untuk selanjutnya, penulis akan membahas sedikit tentang kecerdasan spiritual dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan Islam.
Menurut Jalaluddin Rahmat (2001), dalam kata pengantar pada buku SQ edisi Indonesia mengatakan, Sejak 1969, ketika Journal of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan untuk memahami gelaja-gejala ruhaniah, seperti peak experience, pengalaman mistik, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual. Dalam kerangka inilah, Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita perlukan bukan hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Zohar juga mengatakan, SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita. Akan tetapi seperti kata Jalaluddin Rahmat, Danah Zohar masih terikat dalam pemikiran psikologi dari angkatan-angkatan sebelum psikologi transpersonal.
Sedangkan menurut Khalil Khavari (Khavari, 2000, h. 23)., kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua milikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya hingga berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat ditingkatkan dan juga diturunkan.
Ada adagium yang mengatakan bahwa agama boleh saja ditinggalkan orang, tapi spiritual akan selalu hidup dan bersemanyam di hati setiap orang sampai kapan pun. Disini berarti terdapat pembedaan antara agama atau keagamaan dengan spiritualitas. Agama berbicara tentang seperangkat nilai dan aturan perilaku yang telah melalui proses kodifikasi. Sementara spiritual bermakna jiwa yang paling dalam, hakiki, substance, masih suci dan belum terkotak-kotak, bebas merambah kemana saja, dan didalamnya bersemayam sifat-sifat Ilahi (ketuhanan) yang lembut dan mencintai.
Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan, SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Karena menurutnya sebagian orang, SQ mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal tetapi beragama tidak menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi; sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. SQ adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada, tetapi kita juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Terlepas dari realitas spiritualitas yang penuh dengan paradoks, adalah merupakan keharusan bagi pendidikan Islam untuk mengembangkan, menguatkan, atau menghidupkan kembali peran spiritualiatas religius. Dalam hal ini, seorang pendidik turut andil dan harus memberikan kontribusi yang besar akan keberhasilan pendidikan Islam, seorang guru harus memberikan nilai-nilai dan teladan yang baik pula kepada peserta didik, bukan hanya menuntut belaka. Dengan mengedepankan dan menerapkan nilai-nilai spiritualitas religius, pendidikan Islam diharapkan mampu merajut kembali puing-puing runtuhan peradaban di masa lalu, untuk kemudian dibangun kembali di masa kini.


Daftar Pustaka
-          Abdullah, Amin. (2002). Studi Agama ; normativitas atau historisitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar
-          Abdullah, Amin, M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-          Afifi, al-Hadi, Muhammad, (1964), al-Tarbiyah wa al-Taghoyyur al-Tsaqafi, Kairo: Maktabah Angelo al-Mishriyyah.

0 komentar:

Posting Komentar