( Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin )
Umat Islam pada saat ini berada pada masa yang lemah dalam
segala aspek kehidupan sosial budaya,
yang mana harus berhadapan dengan dunia modern yang serba psraktis dan
maju. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh terjebak pada romantisme, artinya
menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan masa lalu yang terwujud dalam
sejarah Islam, sementara saat ini Islam masih silau menghadapi masa depannya.
umat Islam memang berada dalam suasana problematik. Jika sekarang umat Islam
masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran Islam hasil penafsiran ulama terdahulu
yang dianggap sebagai ajaran yang mapan dan sempurna serta paten, berarti mereka
memiliki intelektual sebatas itu saja yang pada akhirnya menghadapi masa depan
suram.
Oleh karena itu, disinilah pentingnya pendidikan Islam,
yang dapat mengarahkan dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan
dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama Islam, yang merupakan warisan ajaran
yang turun temurun agar mampu beradaptasi dan menjawab tantangan serta tuntutan
zaman dan dunia modern, dengan tetap berpegang pada sumber ajaran Islam yang
murni dan asli, yaitu al-Quran dan As-sunnah. Pendidikan Islam juga dapat
diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat Islam agar
tetap menjadi seorang muslim sejati yang hidup dalam dan mampu menjawab
tantangan serta tuntutan zaman modern maupun era global sekarang.
Dengan sedikit stimulus di atas, setidaknya pendidikan
Islam sangat diharapkan perannya dalam membangun kembali peradaban umat Islam
yang maju. Namun pada nyatanya hal itu berbanding terbalik dengan realita yang
ada, khususnya di Indonesia. Kegagalan pendidikan agama saat ini menuntut
perhatian serius oleh semua pihak baik pemerintah, pengusaha, legislative,
masyarakat, maupun keluarga. Hal ini cukup beralasan karena saat ini moral anak
bangsa telah berada pada suatu titik yang sangat memperihatinkan. Maraknya tawuran
antar pelajar, meningkatnya penyalahgunaan narkoba, merebaknya seks bebas di
kalangan pelajar selalu kita dengar dan saksikan setiap hari melalui berbagai
media. Berdasarkan penelitian tauran antar pelajar dari tahun ke tahun semakin
meningkat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat
tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan.
Menurut Kautsar Azhari Noer (2001), ada
empat faktor penyebab kegagalan pendidikan agama Islam. Pertama, penekananya
pada proses transfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai
keagamaan dan moral kepada anak didik; kedua, sikap bahwa pendidikan agama
tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka, atau sebagai
“pelengkap” yang dipandang sebelah mata; ketiga, kurangnya penekanan pada
penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antaragama, seperti cinta,
kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi; dan
keempat, kurangnya perhatian untuk perhatikan untuk mempelajari agama-agama
lain (Noer dalam Sumartana, 2001: 239-240).
Dari paparan menurut Kautsar Azhari di
atas, setidaknya dapat disimpulkan, bahwa pendidikan Islam dapat dikatakan
berhasil apabila peserta didik mampu mengaplikasikan nilai-nilai religi yang
didapat dari proses pembelajaran yang diberikan oleh guru, terlebih guru agama
Islam. Bukan hanya itu, dalam riset oleh beberapa ahli menyebutkan, bahwa
spiritualitas adalah urutan pertama dalam menentukan keberhasilan seseorang.
Maka jika dihubungkan dengan pendidikan Islam, spiritualitas haruslah
dikedepankan, karena selain moralitas akan melekat dalam diri, spiritualitas
juga akan menjadi pacuan atau pondasi kita saat menggapai dan setelah mencapai
keberhasilan. Untuk selanjutnya, penulis akan membahas sedikit tentang
kecerdasan spiritual dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan Islam.
Menurut Jalaluddin Rahmat (2001), dalam
kata pengantar pada buku SQ edisi Indonesia mengatakan, Sejak 1969, ketika Journal
of Transpersonal Psychology terbit untuk pertama kalinya, psikologi mulai
mengarahkan perhatiannya pada dimensi spiritual manusia. Penelitian dilakukan
untuk memahami gelaja-gejala ruhaniah, seperti peak experience,
pengalaman mistik, ekstasi, kesadaran ruhaniah, kesadaran kosmis, aktualisasi
transpersonal, pengalaman spiritual, dan akhirnya kecerdasan spiritual. Dalam
kerangka inilah, Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan
yang bertumpu pada bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan di
luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita perlukan bukan hanya
untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, melainkan juga untuk secara kreatif
menemukan nilai-nilai baru.
Zohar juga mengatakan, SQ adalah
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan
tertinggi kita. Akan tetapi seperti kata Jalaluddin Rahmat, Danah Zohar masih
terikat dalam pemikiran psikologi dari angkatan-angkatan sebelum psikologi
transpersonal.
Sedangkan menurut Khalil Khavari
(Khavari, 2000, h. 23)., kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi
nonmaterial kita-ruh manusia. Inilah intan yang belum terasah yang kita semua
milikinya. Kita harus mengenalinya seperti apa adanya, menggosoknya hingga
berkilap dengan tekad yang besar dan menggunakannya untuk memperoleh kebahagiaan
abadi. Seperti dua bentuk kecerdasan lainnya, kecerdasan spiritual dapat
ditingkatkan dan juga diturunkan.
Ada adagium yang mengatakan bahwa agama
boleh saja ditinggalkan orang, tapi spiritual akan selalu hidup dan bersemanyam
di hati setiap orang sampai kapan pun. Disini berarti terdapat pembedaan antara
agama atau keagamaan dengan spiritualitas. Agama berbicara tentang seperangkat
nilai dan aturan perilaku yang telah melalui proses kodifikasi. Sementara
spiritual bermakna jiwa yang paling dalam, hakiki, substance, masih
suci dan belum terkotak-kotak, bebas merambah kemana saja, dan didalamnya
bersemayam sifat-sifat Ilahi (ketuhanan) yang lembut dan mencintai.
Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan,
SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Karena menurutnya sebagian orang, SQ
mungkin menemukan cara pengungkapan melalui agama formal tetapi beragama tidak
menjamin SQ tinggi. Banyak orang humanis dan ateis memiliki SQ sangat tinggi;
sebaliknya, banyak orang yang aktif beragama memiliki SQ sangat rendah. SQ
adalah kesadaran yang dengannya kita tidak hanya mengakui nilai-nilai yang ada,
tetapi kita juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Terlepas dari realitas spiritualitas
yang penuh dengan paradoks, adalah merupakan keharusan bagi pendidikan Islam
untuk mengembangkan, menguatkan, atau menghidupkan kembali peran spiritualiatas
religius. Dalam hal ini, seorang pendidik turut andil dan harus memberikan
kontribusi yang besar akan keberhasilan pendidikan Islam, seorang guru harus
memberikan nilai-nilai dan teladan yang baik pula kepada peserta didik, bukan
hanya menuntut belaka. Dengan mengedepankan dan menerapkan nilai-nilai
spiritualitas religius, pendidikan Islam diharapkan mampu merajut kembali
puing-puing runtuhan peradaban di masa lalu, untuk kemudian dibangun kembali di
masa kini.
Daftar Pustaka
-
Abdullah, Amin. (2002). Studi Agama ;
normativitas atau historisitas. Yogyakarta: Pustaka pelajar
-
Abdullah, Amin, M., (1999), Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-
Afifi, al-Hadi, Muhammad, (1964), al-Tarbiyah wa
al-Taghoyyur al-Tsaqafi, Kairo: Maktabah Angelo al-Mishriyyah.
0 komentar:
Posting Komentar