Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin
September 2013 merupakan titik awal perjuanganku di Malang untuk
menjadi mahasiswa berintelektual peradaban, yang mana istilah ini baru aku
kenal pada pertengahan studiku ini. Masa awal studiku aku habiskan dengan
harapan yang penuh sikap optimis untuk mendapatkan beasiswa dan yang paling
penting adalah IPK yang tertinggi. Entah mengapa seiring berjalannya waktu
harapan itu semakin menipis seakan hilang ditelan angin. Karena kehilangan
sikap optimis? Mungkin bukan... Lalu mengapa? Jawabku, sangat tidak menarik bersaingan
dengan mereka yang mendapatkan IPK tinggi melalui jalan plagiarisme dan asal
tempel hingga lembaran tugasnya melampaui logika namun tidak ada relevansinya
dengan rumusan masalah. Walaupun begitu aku sangat menghargai mereka dengan
ketekunan dan kerajinannya, dibandingkan aku yang pemalas ini yang lebih suka
makan dan tidur ketimbang menggarap tugas.
Di tengah kejenuhanku akan studiku yang penuh dengan tugas,
makalah, hafalan dan sebagainya yang membosankan itu aku mulai mendalami dunia
pemikiran. Banyak sekali buku yang aku baca pada waktu itu, namun hanya sedikit
yang aku pahami. Buku yang pertama yang aku pahami adalah Paradigma Islam;
Interpretasi untuk Aksi – karya Kuntowijoyo. Dengan sajian bahasa yang ringan,
saat itu membaca lembaran yang sedikit menyinggung persoalan tentang kaum
borjuis dan kaum proletar. Mulai dari sana lah aku mulai gemar membaca buku-buku pemikiran dan
filsafat walau tidak pernah sampai tuntas baca bukunya. Hehehe
Studiku yang dulu membosankan berubah menjadi lebih asyik ketika
aku kenal dengan seseorang yang gendut, imut, dan begundal (katanya) yang
tiba-tiba menghiasi hariku ini. Bang Ical namanya, laki-laki berpostur kekar ini
berasal dari Lombok. Namun di balik itu
aku punya masa kelam dengannya, karena bisa dibilang aku kenal dengan orang ini
bukan melalui jalan yang damai. Cerita itu berawal ketika kekasihku yang
berinisial A mengikuti diklat KOMP-PAS, sebuah komunitas mahasiswa yang peduli
pendidikan anak bangsa.
Sebelum mengikuti diklat si A sudah sering bercerita tentang
komunitas itu dan sesekali mengajakku untuk ikut serta dalam diklat dan
kegiatannya. Namun seusai diklat, cerita itu semakin sering terdengar di
telingaku, dan lebih menjengkelkan lagi ketika dalam cerita itu terselip nama
Bang Ical, Bang Ical, dan Bang Ical. Duhh dia lagi dia lagi, siapa sih orang
itu (dengan emoticon muka merah)? Sering banget deh sampean cerita tentang itu,
ujarku. Emmm pokoknya Bang Ical tuh keren banget, jawab si A. Siapa coba yang
tak jengkel mendengar kekasihnya menceritakan orang lain, apalagi disertakan
label keren.
Seiring berjalannya waktu, dalam kejengkelanku terhadap Bang Ical
itu justru menimbulkan rasa penasaranku terhadapnya, kenapa sih orang itu
sampai-sampai disebut keren. Mulai aku add akun facebooknya sembari menggali
informasi dari teman-teman yang mengenalnya. Lama kelamaan entah mengapa, rasa
jegkel terhadap Bang Ical itu berganti menjadi rasa kagum, dan dengan legowonya
aku mengatakan “Pantas saja kekasihku mengatakan ia keren, karena ia memang
keren”. Seperti yang sedikit saya ungkapkan di atas, bahwa sedikit sekali
kemungkinan Bang Ical disebut keren dari wujudnya, akan tetapi lebih dari itu
pemikiran, sikap, dan kegiatannya yang membuat ia disebut keren. Dan kemudian
aku tidak lagi menyebutnya “orang itu” melainkan “beliau”... Hehehe
Kisah yang awalnya kelam seketika sirna ketika beliau menyapaku
dengan senyuman manis di tangga samping Masjid AR. Fachruddin. Sejak saat itu
interaksi dari langsung dengannya maupun di sosial media semakin membuatku
akrab dengan beliau, meskipun aku tak tahu apakah beliau merasakan hal yang
sama seperti apa yang aku rasa.
Bahagia aku mengenal Bang Ical, bisa dikatakan beliau adalah guru
menulis terhebatku, aku tidak mau mengatakan guru menulis terbesarku kawatir
terjadi kesalah pahaman yang tidak berarti. Kadang aku berpikir, dia itu
manusia apaan sih.. Coba bayangkan!! Setiap hari pasti ada tulisan yang beliau
publikasikan ke media. Namun itulah Bang Ical, aku sangat menghormatinya. Tulisan-tulisan
yang beliau publikasikan menjadi langganan bacaanku setiap harinya, dan dengan
tulisan-tulisannya aku mulai terdorong untuk mengembangkan tulisan-tulisanku
hingga saat ini.
Bang Ical sekarang sudah jadi sarjana, beliau orang hebat dan dunia
mengakuinya. Sebelum beliau wisuda, ada sedikit kisah yang masih membekas di
benakku, anggap saja kisah ini beliau memegang peranan antagonis. Kebiasaanku bercanda
dan berbagi tawa dengan beliau membuatku tidak bisa membedakan kapan beliau
bercanda kapan beliau serius. Pada saat itu ia menanyakan kepadaku perihal
sertifikat Student Day, sebagai persyaratan mengikuti ujian skripsi. Yaa dengan
polos saja jawab “sepertinya sertifikat sampean belum ada mas, gpp lah mas
skripsinya ditunda tahun depan hehehe”. Sontak jawabanku ini sangat sekali
tidak membuat Bang Ical senang. Aku tidak ingat secara menyeluruh jawaban
beliau, namun intinya “Jangan ngawur kamu jak, kamu pikir ini main-main”. Yaa akhirnya
kejadian ini membuatku tak berani menyapa beliau dalam beberapa hari, hingga
meja PSIF kembali mengakrabkanku kami. Rasa terima kasihku kepada Bang Ical
akan selalu mengalir sebagaimana goresan tinta beliau yang mengalir dalam darahku.
Selain Bang Ical, ada lagi seorang yang sangat berjasa dalam
perjalanan studiku. Namanya Taqwim, sampai sekarang aku tak tahu siapa nama
lengkapnya. Mas Taqwim dan Bang ical sama-sama penulis dan aktif membaca buku. Kalau
inspirasi menulisku tumbuh dari Bang Ical, berbeda dengan semangat membaca
bukuku tumbuh dari Mas Taqwim.
Aku masih ingat dengan pertanyaan beliau yang sering diajukan
kepadaku, “Zak, saat ini sedang baca buku apa?”. Pertanyaan itu terkesan kepo
aja terhadap rutinitas seseorang hehe. Namun pertanyaan sederhana itulah yang
membangkitkan kegemaranku membaca, walau masih belum pantas jika aku disebut
sebagai kutu buku sebagaimana Bang Ical dan Mas Taqwim. Ketika Mas Taqwim
menanyakan hal itu padaku, dan aku saat itu tidak sedang aktif membaca buku
maka aku malu untuk menjawab pertanyaan itu.
Mungkin berangkat dari rasa malu itu aku mengisi keseharianku
dengan melawan rasa malas dan kantuk untuk membaca buku-buku. Tidak berhenti
sampai di situ, diri ini juga mulai menyisihkan uang makan untuk memberi
buku-buku bacaan. Selain ingin motivasi mempunyai perpustakaan pribadi,
itung-itung sekalian diet. Bukan begitu Bang Ical yang ndut? Hehehe
Mas Taqwim pernah memberikan wejangan padaku ketika dalam perjalanan
kami seusai dari kegiatan out bond
Diklat Dasar Forsifa (DDF) yang kebetulan beliau pada waktu itu menjabat
sebagai ketua di Forum Studi Islam. Di atas jalanan yang penuh dengan bebatuan
yang tajam beliau mengatakan, “Kalau kita sudah terbiasa membaca buku yang
berat, maka ketika kita membaca buku yang ringan kita akan sangat cepat
memahaminya,, bagaikan kapak yang sering diasah dan digunakan memotong pohon
yang besar, maka akan sangat cepat ketika digunakan memotong batang dan ranting
yang kecil”.
Dua tahun berlalu aku mendapatkan wejangan itu dari Mas Taqwim, dan
kini aku sendiri membuktikan bahwa apa yang dikatakan beliau memang benar apa
adanya. Ohh yaa aku dan Mas Taqwim berasal dari daerah yang sama. Lamongan,
daerah yang panas karena dengan pesisir, kami punya wisata Jalan Bergelombang dan
lumpur tak bertepi di setiap sudutnya.
Tanggal 28 November 2015 kemarin Mas Taqwim diwisuda sekaligus
menjadi wisudawan terbaik dari Fakultas Agama Islam, menyusul Bang Ical yang lebih
dulu beberapa bulan yang lalu. Saat ini mereka tengah mengabdikan diri untuk
masyarakat, bangsa, dan agama. Mereka adalah dua dari sekian banyak orang-orang
hebat yang hadir dalam hidupku. Terima kasih banyak untuk Bang Ical dan Mas
Taqwim, semoga engkau-engkau yang keren ini selalu sukses.
0 komentar:
Posting Komentar