Senin, 30 November 2015

Dua Sosok Pemuda yang Menginspirasi Perjalanan Studiku



Oleh. Abdul Rozak Ali Maftuhin

September 2013 merupakan titik awal perjuanganku di Malang untuk menjadi mahasiswa berintelektual peradaban, yang mana istilah ini baru aku kenal pada pertengahan studiku ini. Masa awal studiku aku habiskan dengan harapan yang penuh sikap optimis untuk mendapatkan beasiswa dan yang paling penting adalah IPK yang tertinggi. Entah mengapa seiring berjalannya waktu harapan itu semakin menipis seakan hilang ditelan angin. Karena kehilangan sikap optimis? Mungkin bukan... Lalu mengapa? Jawabku, sangat tidak menarik bersaingan dengan mereka yang mendapatkan IPK tinggi melalui jalan plagiarisme dan asal tempel hingga lembaran tugasnya melampaui logika namun tidak ada relevansinya dengan rumusan masalah. Walaupun begitu aku sangat menghargai mereka dengan ketekunan dan kerajinannya, dibandingkan aku yang pemalas ini yang lebih suka makan dan tidur ketimbang menggarap tugas.
Di tengah kejenuhanku akan studiku yang penuh dengan tugas, makalah, hafalan dan sebagainya yang membosankan itu aku mulai mendalami dunia pemikiran. Banyak sekali buku yang aku baca pada waktu itu, namun hanya sedikit yang aku pahami. Buku yang pertama yang aku pahami adalah Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi – karya Kuntowijoyo. Dengan sajian bahasa yang ringan, saat itu membaca lembaran yang sedikit menyinggung persoalan tentang kaum borjuis dan kaum proletar. Mulai dari sana lah aku  mulai gemar membaca buku-buku pemikiran dan filsafat walau tidak pernah sampai tuntas baca bukunya. Hehehe
Studiku yang dulu membosankan berubah menjadi lebih asyik ketika aku kenal dengan seseorang yang gendut, imut, dan begundal (katanya) yang tiba-tiba menghiasi hariku ini. Bang Ical namanya, laki-laki berpostur kekar ini berasal dari Lombok.  Namun di balik itu aku punya masa kelam dengannya, karena bisa dibilang aku kenal dengan orang ini bukan melalui jalan yang damai. Cerita itu berawal ketika kekasihku yang berinisial A mengikuti diklat KOMP-PAS, sebuah komunitas mahasiswa yang peduli pendidikan anak bangsa.
Sebelum mengikuti diklat si A sudah sering bercerita tentang komunitas itu dan sesekali mengajakku untuk ikut serta dalam diklat dan kegiatannya. Namun seusai diklat, cerita itu semakin sering terdengar di telingaku, dan lebih menjengkelkan lagi ketika dalam cerita itu terselip nama Bang Ical, Bang Ical, dan Bang Ical. Duhh dia lagi dia lagi, siapa sih orang itu (dengan emoticon muka merah)? Sering banget deh sampean cerita tentang itu, ujarku. Emmm pokoknya Bang Ical tuh keren banget, jawab si A. Siapa coba yang tak jengkel mendengar kekasihnya menceritakan orang lain, apalagi disertakan label keren.
Seiring berjalannya waktu, dalam kejengkelanku terhadap Bang Ical itu justru menimbulkan rasa penasaranku terhadapnya, kenapa sih orang itu sampai-sampai disebut keren. Mulai aku add akun facebooknya sembari menggali informasi dari teman-teman yang mengenalnya. Lama kelamaan entah mengapa, rasa jegkel terhadap Bang Ical itu berganti menjadi rasa kagum, dan dengan legowonya aku mengatakan “Pantas saja kekasihku mengatakan ia keren, karena ia memang keren”. Seperti yang sedikit saya ungkapkan di atas, bahwa sedikit sekali kemungkinan Bang Ical disebut keren dari wujudnya, akan tetapi lebih dari itu pemikiran, sikap, dan kegiatannya yang membuat ia disebut keren. Dan kemudian aku tidak lagi menyebutnya “orang itu” melainkan “beliau”... Hehehe
Kisah yang awalnya kelam seketika sirna ketika beliau menyapaku dengan senyuman manis di tangga samping Masjid AR. Fachruddin. Sejak saat itu interaksi dari langsung dengannya maupun di sosial media semakin membuatku akrab dengan beliau, meskipun aku tak tahu apakah beliau merasakan hal yang sama seperti apa yang aku rasa.
Bahagia aku mengenal Bang Ical, bisa dikatakan beliau adalah guru menulis terhebatku, aku tidak mau mengatakan guru menulis terbesarku kawatir terjadi kesalah pahaman yang tidak berarti. Kadang aku berpikir, dia itu manusia apaan sih.. Coba bayangkan!! Setiap hari pasti ada tulisan yang beliau publikasikan ke media. Namun itulah Bang Ical, aku sangat menghormatinya. Tulisan-tulisan yang beliau publikasikan menjadi langganan bacaanku setiap harinya, dan dengan tulisan-tulisannya aku mulai terdorong untuk mengembangkan tulisan-tulisanku hingga saat ini.
Bang Ical sekarang sudah jadi sarjana, beliau orang hebat dan dunia mengakuinya. Sebelum beliau wisuda, ada sedikit kisah yang masih membekas di benakku, anggap saja kisah ini beliau memegang peranan antagonis. Kebiasaanku bercanda dan berbagi tawa dengan beliau membuatku tidak bisa membedakan kapan beliau bercanda kapan beliau serius. Pada saat itu ia menanyakan kepadaku perihal sertifikat Student Day, sebagai persyaratan mengikuti ujian skripsi. Yaa dengan polos saja jawab “sepertinya sertifikat sampean belum ada mas, gpp lah mas skripsinya ditunda tahun depan hehehe”. Sontak jawabanku ini sangat sekali tidak membuat Bang Ical senang. Aku tidak ingat secara menyeluruh jawaban beliau, namun intinya “Jangan ngawur kamu jak, kamu pikir ini main-main”. Yaa akhirnya kejadian ini membuatku tak berani menyapa beliau dalam beberapa hari, hingga meja PSIF kembali mengakrabkanku kami. Rasa terima kasihku kepada Bang Ical akan selalu mengalir sebagaimana goresan tinta beliau yang mengalir dalam darahku. 
Selain Bang Ical, ada lagi seorang yang sangat berjasa dalam perjalanan studiku. Namanya Taqwim, sampai sekarang aku tak tahu siapa nama lengkapnya. Mas Taqwim dan Bang ical sama-sama penulis dan aktif membaca buku. Kalau inspirasi menulisku tumbuh dari Bang Ical, berbeda dengan semangat membaca bukuku tumbuh dari Mas Taqwim.
Aku masih ingat dengan pertanyaan beliau yang sering diajukan kepadaku, “Zak, saat ini sedang baca buku apa?”. Pertanyaan itu terkesan kepo aja terhadap rutinitas seseorang hehe. Namun pertanyaan sederhana itulah yang membangkitkan kegemaranku membaca, walau masih belum pantas jika aku disebut sebagai kutu buku sebagaimana Bang Ical dan Mas Taqwim. Ketika Mas Taqwim menanyakan hal itu padaku, dan aku saat itu tidak sedang aktif membaca buku maka aku malu untuk menjawab pertanyaan itu.
Mungkin berangkat dari rasa malu itu aku mengisi keseharianku dengan melawan rasa malas dan kantuk untuk membaca buku-buku. Tidak berhenti sampai di situ, diri ini juga mulai menyisihkan uang makan untuk memberi buku-buku bacaan. Selain ingin motivasi mempunyai perpustakaan pribadi, itung-itung sekalian diet. Bukan begitu Bang Ical yang ndut? Hehehe
Mas Taqwim pernah memberikan wejangan padaku ketika dalam perjalanan kami seusai  dari kegiatan out bond Diklat Dasar Forsifa (DDF) yang kebetulan beliau pada waktu itu menjabat sebagai ketua di Forum Studi Islam. Di atas jalanan yang penuh dengan bebatuan yang tajam beliau mengatakan, “Kalau kita sudah terbiasa membaca buku yang berat, maka ketika kita membaca buku yang ringan kita akan sangat cepat memahaminya,, bagaikan kapak yang sering diasah dan digunakan memotong pohon yang besar, maka akan sangat cepat ketika digunakan memotong batang dan ranting yang kecil”.
Dua tahun berlalu aku mendapatkan wejangan itu dari Mas Taqwim, dan kini aku sendiri membuktikan bahwa apa yang dikatakan beliau memang benar apa adanya. Ohh yaa aku dan Mas Taqwim berasal dari daerah yang sama. Lamongan, daerah yang panas karena dengan pesisir, kami punya wisata Jalan Bergelombang dan lumpur tak bertepi di setiap sudutnya.
Tanggal 28 November 2015 kemarin Mas Taqwim diwisuda sekaligus menjadi wisudawan terbaik dari Fakultas Agama Islam, menyusul Bang Ical yang lebih dulu beberapa bulan yang lalu. Saat ini mereka tengah mengabdikan diri untuk masyarakat, bangsa, dan agama. Mereka adalah dua dari sekian banyak orang-orang hebat yang hadir dalam hidupku. Terima kasih banyak untuk Bang Ical dan Mas Taqwim, semoga engkau-engkau yang keren ini selalu sukses.

0 komentar:

Posting Komentar